“Dikado
barang itu udah biasa e. Sekali-kali kek ada yang ngasih tiket nggembel ke mana
gitu, atau mendaki ke gunung mana gitu,” ceplosku di suatu malam. Kebetulan
waktu itu Mas Riyan dateng buat nganter dagangan. Ceritanya lusa aku bakal
ulang tahun dan lagi ngode orang-orang buat diajak jalan, hahahaha!
“Ke Merbabu gimana?” Mas Riyan
menanggapi dengan serius.
“Weee, sumpah? Budal aku!”
“Iya. Nanti tak ajak anak-anak.
Gimana?”
“Seriusan ki? Weladalah, aku belum
latihan fisik loh, kan ujan mulu, hahaha.”
“Nggak papa. Kemarin habis nggembel
jalan kaki juga toh?”
“Ya, sih…”
Setelah lobi sana-sini, ternyata
anak-anak pada nggak bisa diajak mendaki. Wajar, sih, dadakan soalnya. Aku toh
nggak ngarep banyak. Jadilah pas ulang tahun aku nyaris semedi di kamar doang
gegara ujan deres sepanjang hari. Tapi beberapa hari kemudian, Mas Riyan datang
membawa kabar gembira.
“Kadonya diundur minggu depan mau?
Ke Lawu. Gimana?”
“Mau! Mau! Siapa aja yang ikut?”
“Si A, B, C, kowe, aku. Cari temen
cewek sana, biar ada temen.”
“Oke!”
Tiga hari kulalui dengan putus asa.
Temen-temen cewek yang biasa mendaki nggak ada yang bisa diajakin. Rata-rata
pada mo ke Merbabu. Mau ngajak cewek yang nggak pernah naik gunung tapi ragu,
takut ntar kenapa-napa di sana.
“Udah deh, aku cewe sendiri nggak
papa. Dulu aku juga pernah mendaki ber-14 cewek sendirian.”
“Oke, deh. Siap-siap, ya!”
Aku pun dengan penuh semangat menyiapkan
logistik dan semacamnya. Syukurlah ada si Bogel yang bisa dirampok peralatan
gunungnya, hahaha. Dan beberapa jam sebelum keberangkatan…
“Ndi, anak-anak nggak bisa ikut.
Tahu-tahu ngebatalin.”
“YANG BENER AJA?!”
“Iya. Gimana? Aku sih manut koe.”
“Alah, budali wae! Persetan cuman
berdua, ntar di sana bisa kenalan sama pendaki lain,” aku jadi agak emosi.
Bayangkan, semuanyaaaa udah kusiapin dan terancam gagal itu rasanya pengen
garuk-garuk tanah!
“Baiklah.”
Jumat, 13 Maret 2015, kami berangkat
menuju Karanganyar. Berdua saja? Iya, berdua saja, kayak anak ilang.
Seumur-umur, aku belum pernah mendaki berdua doang, begitu pula dengan Mas
Riyan. Kami nekat. Entah seperti apa nanti di sana, yang penting bismillah
berangkat. Sebenarnya kami agak ketar-ketir. Beberapa hari ini Jogja dilanda
hujan campur badai. Kami tahu, di bulan-bulan ini banyak gunung yang ditutup
karena cuaca buruk. Intinya bukan waktu yang tepat buat mendaki lah. Tetapi
entah kenapa, kami selalu percaya dengan kekuatan doa. Ketika niat sudah ada,
dan semuanya sudah disiapkan dengan matang, kami tinggal menyerahkan semuanya
pada-Nya. Bismillah, selama kami tidak punya niatan buruk, Insya Allah semesta
akan mendukung.
Siang itu, langit mendung. Membuat
kami was-was sepanjang jalan. Sesampainya di Solo, kami beristirahat sebentar
di Pom Bensin. Masih separuh perjalanan lagi. Kami masih khusyuk berharap agar
hujan tidak menyapa kami. Satu setengah jam kemudian, kami melewati jalanan
Karanganyar. Masya Allah, langit ceraaaah sekali! Jauh di sana, tampak Gunung
Lawu berdiri kokoh diliputi awan.
“Hei, lihat! Gunungnya sudah
kelihatan. Ayo semangat! Kita pasti bisa melewati semuanya!” teriak Mas Riyan
sambil menyetir motor.
“Yok, tancaaaap!” sahutku dengan
riang gembira.
Sesampainya di jalur Cemoro Sewu, hatiku
tiba-tiba bergetar. Pada satu suro kemarin, aku pernah ke tempat ini bersama
teman-teman IMM. Bertujuh kami mendaki dan menemui beberapa kendala. Jangankan
sampai puncak, sampai Pos 2 saja kami tak bisa. Entah kenapa saat itu aku
berpikir, aku pasti akan kembali ke sini. Menyapa Lawu lagi. Dan begitu
keinginan itu terwujud, rasa-rasanya masih setengah percaya. Kali ini, aku
tidak menargetkan puncak seperti sebelumnya. Aku hanya ingin berjalan
semampuku, sekuatku. Dan yang terpenting adalah pulang dengan selamat. Itu
saja.
Setelah mendaftarkan diri di pos,
aku dan Mas Riyan beristirahat sejenak di salah satu warung. Saat itu, tampak
segorombolan mas-mas dengan carrier di punggung. Kami pun berkenalan dan
sepakat untuk mendaki bersama. Mereka adalah 11 anak-anak UNNES jurusan
Olahraga.
“Berdua doang, Mas?”
“Iya, nih, sama adik.”
“Adik ketemu gede? Hahaha!”
“Hahaha, nggak, ya!”
Aku hanya tersenyum kecut. Wajar
saja kalau mereka menganggap kami sepasang kekasih, cewek dan cowok gitu loh. Setelah
sholat Isya’, kami berkumpul untuk berdoa bersama. Semoga pendakian kali ini
diberikan kelancaran dan keselamatan. Ketika melewati gerbang, dadaku rasanya
bergemuruh. Lawu, I’m baaaaaack!
Beberapa meter pertama, jalanan
tidak begitu menanjak. Kami berjalan pelan melewati jalan setapak dengan senter
masing-masing. Pas jalan udah nanjak, napasku mulai tidak beraturan. Emang
selalu gitu sih di awal-awal. Dan benar saja, baru beberapa menit aku sudah
ngos-ngosan.
“Sini, Mbak, tasnya tak bawain!”
tawar salah satu teman.
“Eh, nggak usah …”
“Nggak papa. Kami kan anak Olahraga,
wes biasa bawa barang berat. Sini!”
Aku cuma nyengir sambil
mengangsurkan carrier ke salah satu anak. Hahaha, nggak papa lah.
“Mau break dulu, Mbak?”
“Apaan, nggak usah. Aku emang selalu
gini di awal-awal. Yuk, lanjut!”
Kami kembali berjalan. Suasana saat
itu sunyi sekali. Berbeda dengan pas satu suro dulu, rameeee banget! Jadi
enggak begitu takut karena ketemu banyak orang. Sekarang rasanya beda. Sepi.
Aku jadi agak merinding. Makin lama jalanan makin nanjak. Aku sengaja jalan
paling depan biar anak-anak nggak kecepetan jalannya, hahahaha. Begitu sampai
Pos 1, aku melongo.
“Serius ini Pos 1?”
“Lha itu tulisannya begitu, Mbak.”
“Cepat amaaat? Berapa menit kita
jalan?”
“40 menitan lah.”
“Njir, cepat, ya! Dulu aku jalan ke
sini rasanya kek berhari-hari. Suwe bianget,” aku geleng-geleng.
“Mungkin sekarang rasanya beda.”
Aku membenarkan. Entah kenapa,
rasanya perjalanan kali ini begitu berbeda. Semangatku seakan bertambah berates
kali lipat. Mungkin karena aku satu-satunya cewe juga di situ, sebisa mungkin
jangan sampe lah nyusahin. Aku berjanji pada diriku sendiri, pokoknya enggak
boleh ngeluh! Jangan sampai kehadiranku bikin mereka nggak nyaman. Tapi emang
bener sih, saat itu aku terlampau bahagia dan semangat sehingga nggak ada rasa
capek sama sekali. Hahaha.
“Adikku ini jomblo, loh! Belum
pernah pacaran. Barangkali ada yang berminat?” kata Mas Riyan di sela-sela
perjalanan.
Aku melotot. “Jangan jual aku di
sini, Mas!”
“Wahahahaaaa! Dijual katanya!”
anak-anak pada ketawa.
“Aku tidak menjual, hanya
menawarkan,” sahutnya cuek.
“Sampah,” gumamku sambil
memonyongkan bibir. Dan u know lah apa yang terjadi, aku pun menjadi objek pem-bully-an
dan dicing-cengin sepanjang jalan.
“Adikku ini nggak pacar-pacaran. Dia
maunya dilamar di puncak gunung loh, hahaha!”
“Mas Riyaaaan! Westalaaah!”
“Hahahaha! Tuh, lamar sana nanti di
puncak gunung!”
Mas Riyan masih saja mempromosikan
diriku, udah kayak orang MLM aja dia. Nawarin ke sana-sini. Sialan. Tetapi
justru karena itu, sih, kami jadi mudah akrab, hahaha. Perjalanan jadi enggak
kerasa capek. Alhamdulillah banget bisa jalan bareng mereka. Aku nggak bisa
bayangin kalau jalan berdua doang. Pasti garing.
“Hei, Pos 2 udah kelihatan! Ayo ke
sana!”
Di Pos 2, aku lagi-lagi takjub. Dari
5 pos yang ada di Lawu, perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 lah yang paling jauh.
Sudah begitu treknya mayan nanjak. Tapi lagi-lagi, aku merasa perjalanan ke
sana tidak sejauh yang ada di pikiran.
“Mas, nyampe Pos 2! Huhu, dulu
enggak sampek sini,” aku terharu.
“Yo, Alhamdulillah. Kamu nggak capek
po?”
“Enggak.”
Di Pos 2, kami bertemu dengan
pendaki lain yang sedang beristirahat. Setelah basa-basi dan istirahat beberapa
menit, kami kembali berjalan. Oh, ya, saat itu salah itu teman kami ada yang
habis kecelakaan pas pagi sebelum ke Lawu. Lupa namanya siapa. Hahaha, maklum,
aku memang rada susah nginget nama orang, apalagi ini ada 11 orang zzzz. Yang
jelas, anak ini selalu dibully anak-anak lain. Hahaha.
“Mbah, isih kuat mlaku?”
“Kakimu nggak papa?”
“Ayo semangat, jalan lagi!”
Jalanan dari Pos 2 ke Pos 3
menanjak, bonusnya (jalanan datar) mulai jarang-jarang. Tetapi hal itu dibayar
dengan pemandangan yang saaangat indah. Dari atas, kami melihat pemandangan
layaknya Bukit Bintang! Aku menganga saking takjubnya melihat lukisan alam
seindah itu. Sayangnya, camdig-ku enggak bisa menangkap keindahan itu (lebih
tepatnya, aku masih belum bisa make kamera dengan baik dan benar alias gaptek,
hahahaha!). Hal yang sangat kami syukuri saat itu adalah langit cerah! Tidak
ada hujan sama sekali. Aku menyebutnya sebagai keajaiban. Ini sama persis
seperti pas aku mendaki Ijen beberapa bulan lalu. Saat itu musim hujan, tetapi
ajaibnya langit tiba-tiba cerah dan bertabur bintang. :’)
Semakin ke atas, udara semakin
dingin. Aku berkali-kali merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan tangan saking
dinginnya. Agak bodoh memang, aku cuma memakai baju dan jaket lapis 2 yang
nggak terlalu tebal. Padahal dulu pas pertama kali ke sini aku make baju lapis
5 dan jaket lapis 3 -___-
“Break!” teriak salah satu anak.
Kami lantas berhenti dan duduk-duduk
di bebatuan. Aku duduk paling atas bersama seorang mas-mas yang lagi-lagi aku
lupa siapa namanya. Mukanya pun lupa. Habis gelap sih, hahaha. Sembari
menghisap madu pemberian seorang teman, aku geletakan sambil menatap langit. Tak
jauh dariku, barisan semak-semak tampak ribut diterpa angin. Telingaku tak
sengaja mendengar sesuatu. Bulu kudukku langsung berdiri tegak. Aku refleks
duduk dan mendekat ke mas-mas tadi.
“Kenapa, Mbak?”
“Kamu denger sesuatu nggak?”
“Ha?”
“Eh, enggak. Enggak papa kok. Jalan
yuk, duduk lama-lama makin dingin.”
“Oke.”
Kami kemudian melanjutkan
perjalanan. Sepanjang jalan menuju Pos 3, mulutku bungkam. Aku hanya mengikuti
jalan di depan tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Jalanku pun cenderung
kupercepat, pokoknya kudu sampe Pos 3 secepatnya!
Di Pos 3, aku bernapas lega karena
menemukan banyak pendaki. Mereka rata-rata juga akan melanjutkan perjalanan ke
Pos 4. Dan lagi-lagi Mas Riyan melontarkan kalimat-kalimat berisi promosi atas
kejombloanku. Meski aku ketawa, tapi diam-diam perasaanku kerasa nggak enak.
Jangan
ganggu aku. Aku nggak ada niatan jahat di sini.
"Ayo lanjut aja, dingin banget nih
duduk lama-lama,” aku beralasan, padahal kami baru beberapa menit duduk. Untungnya
mereka nggak curiga atau apa, jadi kami langsung lanjut menuju Pos 4.
Perjalanan menuju Pos 4 bisa
dibilang sangat menguras energi. Jalannya nanjak tinggi banget, tanpa bonus.
Kami melewati tangga-tangga batu tak beratutan. Kalau nggak hati-hati bisa
terpeleset. Sekitar 1,5 jam kemudian, sampailah kami di Pos 4. Saat itu tepat
pukul 12 malam. Aku sudah mau nangis aja. Lebay sih kedengerannya, tapi aku
benar-benar nggak nyangka bisa sampai di Pos 4 dalam waktu sesingkat ini. Cuma
5 jam! Mungkin bagi pendaki lain itu normal, tapi bagiku yang masih newbie,
ngelewatin 4 pos selama 5 jam itu luar binasa cepetnya, apalagi trek di Lawu
terbilang sulit. Dulu aja pas ke sini, dari basecamp
ke Pos 1 makan waktu berjam-jam.
“Mau camp di sini apa lanjut Pos 5,
Mbak?”
“Manut. Mau ngecamp ayo, lanjut ayo.”
“Woh, strong tenan mbak’e!”
“Hahaha! Ora!”
Tapi memang iya, saat itu aku
anehnya enggak ngerasa capek. Biasa aja. Entah capeknya sudah dimakan semangat
atau gimana. Akhirnya, kami mencari tempat buat mendirikan tenda di dekat Pos
4. Padahal perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 cuma 15 menit doang (tapi waktu itu
kami nggak tahu jalannya bakal sesingkat itu, haha). FYI, kami ber-13 belum ada
sama sekali yang pernah mendaki Lawu sampai puncak, bahkan beberapa ada yang
belum pernah naik gunung sama sekali. Jadi bisa nyampe Pos 4 bagiku adalah
pencapaian yang luar binasa.
“Saatnya tidur. Besok bangun
setengah lima, ya, lanjut perjalan lihat sunrise!”
“Oke!”
Aku masuk sleeping bag dan mencoba
memejamkan mata, tapi enggak bisa. Dinginnya Lawu membuatku susah tidur. Entah
pada pukul berapa, aku sangat menggigil dan berada di antara sadar dan tidak
sadar. Mulutku menceracau entah apa. Rasanya tubuhku sedingin es. Bernapas pun
susah. Aku tahu-tahu dibangunin Mas Riyan dan disodorin teh panas. Mungkin
kalau saat itu di antara kami nggak ada yang bangun, aku sudah mati kedinginan.
Mana saat itu ada badai pula. Karena nggak bisa tidur dan suasana hati juga
nggak tenang, kami menunggu Subuh. Setelah sholat, baru lah aku bisa tidur
dengan tenang. Aku nggak bangun sama sekali sampai pukul 7. Sementara itu,
cowok-cowok pada sibuk masak. Sekalinya bangun aku langsung makan, hahahahaha. Mereka
masak sup, mie instan, tempe goreng, dan sarden. Berasa prasmanan di gunung.
Oh, ya, pagi itu kami nggak dapet sunrise. Kabutnya tebeeeeel banget. Jadinya
kami baru naik agak siangan. Semua barang ditinggal di tenda.
Perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5
emang cepet banget, 15 menit doang tapi nanjak. Di sana, kami menemukan warung
Mbok Yem yang legendaris itu. Kami juga menemukan sumber mata air. Dulu Septian
pernah cerita kalau di sini ada sumber mata air, dan akhirnya aku bisa
melihatnya secara langsung, hiks. Dari Pos 5, kami lanjut ke puncak. Kami
motong kompas biar waktunya lebih singkat. Dan Masya Allah, pemandangannyaaaaaa
sangat indah! Fix aku bahagia!
“Ayo, Mbak, sedikit lagi nyampe
puncak!” teriak si Vandi dari atas.
“Mana puncaknya? Kagak keliatan dari
tadi!” aku udah lelah gegara jalannya nanjak dan berlumpur.
“Ituuu di sana. Ayo, dikiiit lagi!
Semangat!”
Dengan sisa-sisa tenaga, aku
merambat ke atas. Dan begitu mataku menangkap Tugu Lawu, aku refleks
menjatuhkan diri. Sujud syukur. Nangis. Seneng. Benar-benar kayak mimpi. Ya
Allah, ini kado terindah! Sungguh! Bisa berjalan sampai puncak adalah bonus
yang luar biasa indahnya. Rasanya, semua rasa lelah terbayarkan sudah. *ngelap
air mata*
Memandang lukisan alam maha indah
dari puncak, mulutku sontak tercekat. Rasa syukur, haru, bahagia, bercampur
aduk jadi satu. Semakin merasa bukan apa-apa di tengah alam ciptaan-Nya.
*ngelap air mata lagi*
Kami berada di atas cukup lama. Ngapain
lagi kalau bukan ngambil gambar. Ada-ada aja tingkah konyol anak-anak. Yang
bikin ngakak adalah ada salah seorang teman yang dengan pedenya nulis “I Love
Your Mom and Ded” dan “You Will Marry Me”. Asli lah aku ngakak kenceng.
“Maksudmu ‘Will You Marry Me’
mungkin? Hahahaha!”
Kocak lah mereka semua. Dan seperti
biasa, Mas Riyan akan selalu menyempatkan dirinya ngukir tulisan dari batu buat
kekasih tercinta. Alay bet, tapi ujung-ujungnya aku ikut-ikutan juga, HAHAHAHA!
Tak lama kemudian, kabut tebal pun datang dan kami bersiap turun.
Setelah membereskan tenda, kami
turun. Kami berdoa agar dalam perjalanan pulang tidak menemui kesulitan apapun.
Rintik hujan turun pelan-pelan.
“Gila, jadi semalam kita ngelewatin
jalanan curam begini. Untung kita naiknya pas malem ya, coba kalo siang, udah
drop duluan kali.”
Haha, memang. Jalanannya
menyeramkan. Tapi hal itu setimpal dengan pemandangannya yang bagus. Coba
enggak kabut, pasti lebih keren lagi. Dari Pos 4 ke Pos 3 kami jalan setengah
jam doang tanpa istirahat. Di Pos 3, kami istirahat sekitar 10 menit, lalu jalan
lagi. Instingku mengatakan untuk terus berjalan dan nggak noleh-noleh. Kejadian
semalam terulang lagi. Di beberapa titik, aku merasakan sesuatu. Aku pun
berjalan cepat. Gila, baru kali ini aku turun tanpa banyak istirahat. Awalnya
sih iya-iya aja, tapi pas nyampe Pos 1, tenagaku sudah mau habis. Aku pengen
berhenti, tapi keburu ditereakin Mas Riyan.
“Bablas aja! Kalau berhenti makin
sakit kakinya. Ayo, jalan pelan!”
"SEKTALA, AKU SEK KESEL!” aku tereak
agak esmosi sodara-sodara. Dengan memberengut, aku lanjut jalan cepet banget.
Rodo nesu ceritane. Hahahahahaaaaa! Aku jalaaaan terus tanpa berhenti, paling
lama mandek ya 10 detik. Tapi memang bener sih, duduk malah bikin kaki sakit.
Sesampainya di basecamp, aku bernapas lega. Alhamdulillah, kami semua kembali
dengan selamat. Kami sampai bawah sekitar pukul 5 sore, 3 jam perjalanan lah ya
dari atas. Malam itu juga kami pulang.
“Terima kasih, yaaa, sudah menemani
kami dari berangkat sampe pulang! Senang mengenal kalian semua!”
“Iya, sama-sama. Sampai jumpa di
pendakian selanjutnya!”
“Next time Gunung Andong, yuk!”
“Insya Allah kalo skripsiku kelar
cepet, hahahaha!”
Kami pun berpisah. Aku dan Mas Riyan
balik Jogja. Malam itu dinginnya menusuk tulang. Jalanan gelap. Di sebuah
turunan, tiba-tiba rem motor blong dan nyaris nabrak mobil!
“Mas, ati-ati! Pelan-pelan aja!” aku
was-was. Perasaanku kembali nggak enak. Untuk mengusir kegalauan, Mas Riyan
mulai mendongengiku tentang kisah cintanya dengan Reni. FYI, dia mendongeng
dari Lawu sampe Jogja -______-. Kisah romantismenya dibeber dari A sampai Z.
“Kalau
ditantang nikah sekarang mah aku berani. Aku pinginnya tuh nanti bla … bla …
bla …duh, Dek Reni itu sangat lembut, keibuan bla … bla … dia juga bla … bla …”
Dia
amat semangat cerita tanpa sadar kalau dia menghadapi seorang jomblo -______-
“Mas, tau nggak kenapa aku semalam
banyak diem?” tanyaku pas dia brenti ngocehin Reni.
“Kenapa?”
“Aku denger suara aneh.”
“Aku denger suara aneh.”
“Aneh gimana?”
“Ada suara cewek …” aku memelankan
suara.
“Hah? Apaan?”
“Itu … ada suara cewek. Kadang
nangis, kadang ketawa, kadang njerit …”
“SUMPAH?”
“Sumpah!”
“Kamu dengernya di mana?”
“Sepanjang Pos 2 sampe Pos 3.”
Kami diam. Jeda beberapa saat.
“Koe ngerti ora?”
“Apa?”
“Aku juga mendengar hal yang sama.”
“Yang bener aja?”
“Iya. Lihat, deh, tanganku
merinding!” Mas Riyan menunjukkan tangan kirinya yang merinding. Tangan dan
bulu kudukku juga berdiri. Sontak aku menoleh ke belakang, padahal saat itu
jalanan rame, tapi entah kenapa suasana berasa sunyi dan senyap.
“Mas, aku wedhi …”
“Nggak papa. Yang penting kita nggak
ada niatan buruk kan selama di sana? Kamu nggak ada pikiran jelek, kan?”
“Enggak. Aku nggak aneh-aneh kok.”
Kami kembali diam. Sesampainya di
daerah Karanganyar, Mas Riyan kembali bicara.
“Ndi …”
“Opo?”
“Tiba-tiba rem-nya nggak blong lagi.
Udah normal kayak nggak kenapa-napa.”
Aku kembali bergidik.
“Apa mungkin tadi kita diikutin, ya?”
“Wes, wes, jangan dilanjut. Ayo
pulang!”
Kami pun kembali ke Jogja dengan
selamat. Alhamdulillah. Perjalanan kali ini sangat luar bisa. Bisa dibilang,
ada banyak keajaiban selama perjalanan. Mulai cuaca yang tiba-tiba cerah dan
nggak hujan, bertemu teman-teman hebat, juga pendakian yang terbilang lancar.
Alhamdulillah. Ini adalah kado yang tak terlupakan. Sungguh!
Sesampainya di kos, aku tidak
langsung tidur. Nungguin si Anggun. Begitu bocah itu datang, aku lega.
“Aku tidur kamarmu, ya.”
“Kenapa?”
“Aku masih kepikiran sesuatu e.”
“Kepikiran apa?”
“Besok aja lah kuceritain!”
Aku pun tidur di kamarnya, tapi tak
langsung memejamkan mata. Di kepalaku masih terngiang jeritan-jeritan di
sepanjang jalan Pos 2 ke Pos 3….
Jogja, 17 Maret 2015.
Pukul 04.07 WIB
Ini tenda kami! :D |
Demi cinta. *alaaah -___- |
Pagi yang berkabut |
Makaaaaan! :D |