Lembayung Bali

Sepagi ini, lebih dari 50 kali telingaku mendengar lantunan "Lembayung Bali". Tidak ada yang kulakukan selain duduk diam sembari mendengar lagu itu. Dan tetiba saja, pikiranku melayang. Jauh ... jauh ... ke masa kanak dulu. Meski sudah usang, otakku mampu mengingatnya dengan baik.
Apakah kau masih ingat?
Dinding sekolah yang kusam itu. Guru A yang sangat berwibawa, guru B yang berotak mesum, atau guru C yang galaknya minta ampun.  Kantin kecil yang selalu sesak ketika bel istirahat. Suasana kelas yang membosankan. Dan, pertemuan aneh nan absurd itu. Iya, kau dan aku. Hahaha. Bolehkah aku menertawakan kepolosan itu?

--- ---- --- ---

Pada suatu siang yang panas. Di antara ratusan anak-anak itu, kau melihatku, seorang bocah kecil berambut panjang tengah berdiri di depan kelas. Aku mengenakan celana pendek sedengkul dan kaus lengan panjang yang digulung sampai siku. Rambut panjangku diikat kuda. Kau memerhatikanku sampai seorang teman menyenggol bahumu.
"Ayo masuk kelas," ajaknya.
Kau mengangguk, lantas menatapku sekali lagi. Kau pun tahu, hari-harimu akan berubah sejak saat itu.

---- ---- ----

Lima belas hari kemudian, kau terpental di pinggir jalan. Mukamu babak belur akibat pukulanku. Sembari berkacak pinggang, mulutku mengeluarkan pisuhan-pisuhan khas orang ngamuk.
"Cuks! Pergilah kau ke neraka!" umpatku dengan kekesalan tingkat tinggi, lantas meninggalkanmu begitu saja.
Kau mulai berpikir bahwa aku adalah monster. Perilakuku sama sekali tidak mencerminkan seorang bocah perempuan pada umumnya. Dan aku tidak peduli.

--- --- ----

Kau tetap saja mengusikku. Semakin aku beringas menghajarmu, kau semakin beringas pula mengusikku. Kupikir tindakanmu terlalu dewasa untuk usia 12 tahun. Bagaimana tidak? Kau mengeluarkan kata-kata yang membuat perutku mual. Dan kau tersenyum tanpa dosa!
Segala macam cara kulakukan. Menghajarmu sepulang sekolah? Sudah. Mencoreti bukumu? Sudah. Mengempesi ban sepedamu? Sudah. Membuang tasmu ke selokan? Sudah. Mempermalukanmu di depan umum? Setiap hari kulakukan.

Tapi kau tetap mengusikku. Aku kehabisan akal.


--- ---- ----

Bertahun-tahun kemudian. Pertemuan tak terduga.
"Apakah kau masih memusuhiku?" tanyamu dengan raut cemas.
"Tentu saja tidak. Memangnya kau pikir aku masih anak-anak?" aku tertawa. Tepatnya, menertawakan kelakuanku di masa lalu. Itu sangat konyol.
Senyummu mengembang. Sejak saat itu, kita berteman.


.... tapi kita tak pernah bisa benar-benar menjadi teman. Kau kembali membahas hal-hal yang kau ucapkan dahulu. Tentang sesuatu yang kau rasakan ketika melihat bocah kecil berambut panjang di depan kelas....



--- --- ---

Butuh waktu enam tahun untuk membuat mulutku berkata "Mungkin aku harus mengenalmu dahulu".
Kau bersorak. Merasa bahwa hal yang kau tunggu-tunggu bertahun-tahun lamanya itu tidak sia-sia.

       .... tapi memang sia-sia, kan? Sejak kalimat itu meluncur dari mulutku, semuanya tak lagi sama. Bunga yang mekar itu layu seiring dengan tindakan bodohmu. Nyatanya, kebencianku terhadapmu lebih parah ketimbang kebencian di masa kanak-kanak.


Kau menghancurkan rasa percaya yang kuberikan.


--- --- ----

Aku tak lagi bisa mempercayai makhluk sejenismu. Salahkah?


Toh hidupku terlalu sia-sia jika hanya dihabiskan untuk mengurusi hal-hal remeh semacam perasaan. Kau tentu masih ingat dengan cita-cita yang pernah kuutarakan padamu. Dahulu.


--- --- ----


Pagi ini. Tetiba saja kau menyeruak dalam ingatanku. Apakah aku rindu? Mungkin. Lalu kubiarkan telingaku mendengarkan "Lembayung Bali". Lagu itu lah yang menemani perjalananku ke kotamu, bertahun-tahun lalu.




This entry was posted on Sabtu, 24 Mei 2014. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply