KITA #Part 1


          Sore hari. Lapangan Grha Sabha Pramana (GSP) tampak ramai. Puluhan manusia tengah asyik jogging sembari bercakap-cakap. Beberapa lebih memilih duduk di tangga GSP sambil memandang kegiatan di bawah sana. Seperti yang dilakukan mereka berempat sore ini. Indi, Fithri, Rozi, dan Budi. Empat sekawan yang entah sejak kapan memutuskan untuk menghabiskan waktu selo mereka di tempat ini. Menikmati senja di GSP. Senja yang indah. Seindah persahabatan mereka. Sudah 30 menit mereka lalui dalam diam. Tangis yang meledak itu perlahan mulai surut menjadi isakan-isakan kecil.
          “Udahlah, Fit. Nggak usah sedih gitu. Nanti kalo jodoh pasti kalian bakal bersatu, kok,” Indi memecah keheningan. Tidak tega melihat Fithri yang tak bisa berhenti menangis.
          “Iya, jangan nangis mulu dong. Malu kali diliatin orang-orang,” Budi yang ceplas-ceplos langsung menimpali, tapi langsung dipelototi oleh Indi. Dia bercanda pada saat yang tidak tepat!
       “Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku, Bud. Sakit.” Ucap Fithri dengan pandangan kosong.
            “Ya, bukan gitu maksudku, Fit … Aku tuh cuman …”
        “Udah, deh, daripada nambah galau mending abis ini kita jagungan aja! Gimana?” Rozi yang sedari tadi diam menawarkan solusi.
        “Ayok! Kebetulan aku juga laper. Ntar ceritanya dilanjut di sana, sambil jagungan. Biar pikiranmu juga rada tenang, Fit.” Kata Indi.
        Fithri mengangguk tanda setuju. Selepas shalat maghrib di mushola Fakultas Ilmu Budaya, mereka langsung berjalan kaki menuju tenda jagung bakar langganan mereka. Tenda jagung bakar itu terletak di depan MM UGM, bersebelahan dengan tenda yang menjual berbagai macam gorengan.
          Malam itu mereka menjadi pengunjung pertama di tenda jagung bakar tersebut. Sambil menunggu pesanan datang, Fithri melanjutkan kegalauannya yang tadi terputus di GSP.
          “Jadi, aku harus gimana, dong? Nggak bisa lupain dia, aaaaaaa!” Fithri bersiap-siap menumpahkan air matanya lagi.
       “Ngapain sih kamu mikirin orang yang nggak serius mikirin kamu? Seenaknya aja main putus trus ngajak balik lagi, kayak main layangan. Udah berapa kali kamu diginiin? Kalo aku jadi kamu, udah kubuang ke laut kali!” Budi mulai jengkel. Ya, jengkel dengan sikap Fithri yang tidak berubah sejak dulu. Tidak bisa bersikap tegas menghadapi kekasihnya.
           Entah sudah yang keberapa kalinya gadis itu diputus secara sepihak hanya gara-gara masalah yang terkadang menurut mereka sepele. Long distance relationship memang sering kali menimbulkan pertengkaran-pertengkaran maupun kesalahpahaman. Entah sudah berapa kali Fithri dan kekasihnya putus-nyambung. Sampai semua sahabatnya jengah. Jengah melihat perlakukan kekasihnya yang dinilai terlalu protektif. Padahal mereka tahu, Fithri sangat mencintai kekasihnya.
            “Kok kamu sewot sih, Bud? Aku ke sini mau curhat, bukan buat dibentak-bentak!” Fithri mendadak sakit hati mendengar suara Budi yang melengking saking emosinya.
         Rozi segera melerai. “Maksud Budi bukan gitu, Fit. Dia cuman pengen kamu buka mata lebar-lebar …”
              “Jadi maksudmu mataku buta? Gitu?” Fithri bertambah emosi.
          “Eh … eh, kok jadi begini, sih? Kita kan ke sini buat ngademin kepala, bukan buat gontok-gontokan. Jangan emosi gitu dong, Fit. Kita semua di sini berusaha ngasih solusi terbaik …”
           “Solusi apa? Aku tahu kalian emang nggak suka sama dia, makanya kalian selalu nyinyir kalo aku cerita tentang dia. Kalian bosen kan aku ocehin tentang dia mulu tiap hari? Oke fine, mulai sekarang aku nggak akan pernah ngeluh ke kalian lagi!” Fithri menarik tasnya yang tergeletak di meja, lantas meninggalkan tempat itu dengan air mata berlinang. Dia benar-benar kecewa.
           “Tuh, kan … Fithri jadi ngambek, kan? Kamu sih, Bud, ngomongnya nggak bisa alus gitu,” Rozi ngedumel.
        “Kok jadi nyalahin aku, sih? Kan aku cuman pengin ngingetin dia biar nggak terlalu cinta sama cowok!” Budi naik darah.
          “Iya aku tahu maksudmu emang baek, Bud. Tapi kamu tadi emang rada sengak ngomongnya. Situasi hati-nya Fithri kan lagi sensitif begitu.” Rozi berusaha tetap kalem.
            “Heh, kenapa malah kalian yang berantem, sih? Malu tahu diliatin banyak orang!” Indi lama-lama kesal melihat kedua sahabatnya adu mulut.
         “Terserah! Aku mau pulang!” Budi mengambil tas selempangnya, lalu berlalu dengan wajah merah padam.
          “Tadi Fithri yang ngambek, sekarang gantian Budi. Dasar kayak anak kecil semuanya!” kata Rozi.
          “Emang kamu nggak kayak anak kecil juga? Udah tahu sifat Budi kayak gitu, malah disalah-salahin pas lagi emosi!”
             “Aku cuman pengen ngingetin dia aja, Ndi!”
          “Tapi kamu nggak tahu tempat dan waktu yang tepat buat nasehatin orang!” teriak Indi penuh kekesalan. Dia pun meninggalkan Rozi yang masih mematung.

                                                               ***

          FITHRI

          Siang itu, Fithri makan di Bonbin tanpa ketiga sahabatnya. Soto ayam yang tersaji di depannya perlahan mendingin karena tak disentuh sama sekali. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, tampak Budi yang tengah membeli air mineral, lalu berlalu begitu saja. Tak ada tegur sapa.
         Jarak dua meja dengan mejanya, Rozi tampak ramai bersama teman-teman. Berpura-pura tak melihat Fithri sama sekali. Dan Indi? Entah ke mana dia. Mungkin sedang berkutat dengan laptopnya di bangtem, entah menulis apa.

          ROZI

    Rozi memandangi kontrakannya yang tampak lengang. Kedua teman sekontrakannya pergi entah ke mana. Biasanya, siang-siang begini Budi suka ke kontrakannya untuk main game atau sekadar meminjam buku. Kalau tidak, Indi dan Fithri yang datang dengan membawa sekarung makanan. Masak-masakan.
          Rozi lantas menyalakan laptopnya, mecolokkan modem, lalu berselancar ke dunia maya. Facebook. Tampak nama ketiga sahabatnya menyalakan lampu hijau di chatlist. Mereka online. Tapi, tetap tak saling menyapa.
         
          INDI

      Sudah pukul 2 dini hari. Penyakit insomnianya belum sembuh juga. Biasanya, dia akan iseng menjahili ketiga sahabatnya yang tengah terlelap. Dia akan menelepon mereka berulang-ulang, sampai mereka terbangun dan salah satu dari mereka akan terpaksa menerima teleponnya. Mendengarkan ocehannya sampai pagi.
          Indi berusaha memejamkan matanya, namun tak bisa. Tidak ada yang bisa dia jahili malam ini. Tak sengaja matanya menangkap sebuah foto yang terpasang di dinding kamarnya. Foto bergambar empat orang yang tampak tertawa lepas. Foto yang menampakkan wajah Rozi bak adonan kue, Fithri yang membawa bungkusan tepung, Budi yang tampak memecahkan sebuah telur di atas kepada Rozi, dan fotonya sendiri. Foto itu diambil di hari ulang tahun Rozi yang ke-20. Indi tersenyum, tapi sedetik kemudian senyumnya menghilang.
         
          BUDI

         Di tangga GSP, Budi duduk sambil menikmati senja seorang diri. Ada yang mengganjal di dadanya ketika melihat pemandangan di bawah sana. Orang-orang berlarian, anjing kecil yang lucu, mbak-mbak penjual roti, dan … ah. Biasanya, kalau sedang jenuh begini, dia akan berkumpul bersama ketiga kameradnya. Menikmati senja bersama. Memakan jagung di tempat langganan. Duduk melingkar di bunderan UGM sambil membincang mimpi 10 tahun ke depan. Berenang di kala senggang.
   Budi mengambil ponsel di saku jaketnya, lalu memutuskan untuk mengirimkan sms untuk ketigas kameradnya.

          Sore ini, senja di GSP bagus sekali.

          Ah, sejak kapan dia jadi melankolis begini?

                                                                     ***
      “Argh! Banku kempes lagi!” Fithri turun dari sepeda ontelnya sambil merutuk.
     Sejak memutuskan untuk pindah kost sebulan lalu, dia memutuskan untuk menggunakan sepeda ontel karena jarak antara kampus dan kostnya yang cukup jauh. Sambil menggerutu, dia lalu menepikan sepedanya ke pinggir jalan. Dia harus berjalan kaki selama 30 menit untuk menemukan bengkel. Oh, sial!
       “Sepedamu kenapa?” tanya sebuah suara.
       Fithri mendongak, lalu menemukan wajah Budi di hadapannya.
       “Biasa, ban-nya kempes.” Jawab Fithri singkat.
      “Udah tahu ban soak begitu, masih aja dipake,” kata Budi sambil mengambil ponsel di saku celananya. Fithri hampir memakinya, tapi terdiam setelah mendengar ucapan Budi.
     “Rozi, kamu di mana? Ban sepeda Fithri kempes lagi, nih! Iya, ini lagi di daerah Godean. Depannya toko roti. Buruan ke sini!” kata Budi, lalu menutup ponselnya. Beberapa detik kemudian dia kembali menelepon seseorang.
      “Indi, di mana? Buruan ke sini, ban sepeda Fithri kempes lagi. Di daerah Godean, depan toko roti langgananmu itu. Cepetaaaaan, bawa makanan yang banyak! Kami udah kelaperan di sini.”
        Fithri langsung tertawa mendengar ucapan Budi. “Kamu minta Indi ke sini? Ya ampun, kasihan tahu dirampok melulu!”
      “Ah, udah sih. Dia kan udah dilantik jadi emak kita. Nggak sia-sia punya temen doyan makan kayak dia! Hahahah!”
     Mereka tertawa bareng. Tak lama kemudian, Rozi datang bersama motor kesayangannya. Tanpa menunggu lama, Budi langsung mengangkat sepeda Fithri, lalu meletakkannya di boncengan motor Rozi.
          “Ayo kita bawa ke bengkel!” kata Budi.
          Rozi mengangguk, lalu motor pun melesat. Di tempatnya berdiri, Fithri tak bisa mengatakan apapun. Ada segumpal haru yang membuncah di dadanya.
          “Fit!” panggil Indi.
          Fithri menoleh dan menemukan Indi yang bertengger di atas motor.
          “Mana anak-anak?”
          “Lagi naroh sepeda ke bengkel. Lima menit lagi juga udah balik, kok.”
     Indi mengangguk, lalu memarkir sepeda motornya di depan toko roti langganannya. Tak lama kemudian, Rozi dan Budi datang. Melihat Indi yang tak membawa apapun, Budi mencak-mencak.
          “Kok nggak bawa makanan, sih?”
          “Males belanja. Masuk sini aja, yuk, aku traktir kalian sepuasnya deh!” kata Indi sambil masuk ke toko roti.
          “Aseeeek!! Makan-makan!”
      Di dalam, mereka mengambil tempat paling pojok. Sambil menunggu pesanan datang, Indi nyeletuk.
       “Kemarin siapa ya yang kirim sms ‘sore ini, senja di GSP bagus sekali’. Melankolis banget, hahahah!”
          Budi langsung melempar Indi dengan kotak tissue. “Sialaaaan, itu karena aku lagi kangen sama kalian tahu!”
           “Budi kalo lagi melow jadi lucu banget, hahahaha!” Rozi menambahkan.
          “Hahahaha, iyaaaa. Biasanya juga sok cool gitu, hahaha!” kata Fithri.
          “Terus aja nge-bully aku!” Budi mendengus, tapi kemudian tersenyum.   
          “Lagian, mana tahan aku diem-dieman lama sama kalian.”
        Mereka kemudian terdiam. Fithri yang selalu merasa bersalah kapan pun dan di mana pun langsung meminta maaf.
      “Ini semua gara-gara aku. Maaf, ya … aku kemarin emang lagi emosi banget.” Fithri menundukkan muka.
        “Udahlah, yang berlalu biarlah berlalu,” Budi sok puitis. “Aku juga salah, kok. Omonganku emang suka ceplas-ceplos. Lain kali aku nggak gitu lagi, deh …”
         “Iya, Fit, sori juga kalo kemarin kata-kataku nyinggung kamu. Aku nggak maksud …”
          “HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!” Indi tiba-tiba ngakak begitu keras.
          “Kamu kenapa, sih? Kesambet?” Budi heran.
       “HAHAHAHAHAH! Aduh, sumpah, lihat kalian maap-maapan tuh lucu banget. Kenapa jadi sok melankolis lagi, sih? Udah, ah, yuk makan aja! Aku udah laper banget!” kata Indi sambil mencomot sebuah donat yang baru saja diantar oleh pelayan.
          Budi, Rozi, dan Fithri sontak tertawa, lalu melempar Indi dengan kotak tissue yang tersedia di meja.
          Tawa itu … tampak begitu lepas.



Pare, Kamis 11 Juli 2013.


Teruntuk: Fithri Maulani Yarhamniya. :)

This entry was posted on Rabu, 04 Desember 2013. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

2 Responses to “KITA #Part 1”

  1. Iya, senja di GSP selalu bagus. Dan entah sejak kapan kita tidak menikmatinya lagi. Lupa.



    | Bagus Ndi :D

    BalasHapus