Sore hari. Lapangan Grha
Sabha Pramana (GSP) tampak ramai. Puluhan manusia tengah asyik jogging sembari
bercakap-cakap. Beberapa lebih memilih duduk di tangga GSP sambil memandang
kegiatan di bawah sana. Seperti yang dilakukan mereka berempat sore ini. Indi,
Fithri, Rozi, dan Budi. Empat sekawan yang entah sejak kapan memutuskan untuk
menghabiskan waktu selo mereka di tempat ini. Menikmati senja di GSP. Senja
yang indah. Seindah persahabatan mereka. Sudah 30 menit mereka
lalui dalam diam. Tangis yang meledak itu perlahan mulai surut menjadi
isakan-isakan kecil.
“Udahlah, Fit. Nggak usah
sedih gitu. Nanti kalo jodoh pasti kalian bakal bersatu, kok,” Indi memecah
keheningan. Tidak tega melihat Fithri yang tak bisa berhenti menangis.
“Iya, jangan nangis mulu
dong. Malu kali diliatin orang-orang,” Budi yang ceplas-ceplos langsung
menimpali, tapi langsung dipelototi oleh Indi. Dia bercanda pada saat yang
tidak tepat!
“Kamu nggak ngerti gimana
rasanya jadi aku, Bud. Sakit.” Ucap Fithri dengan pandangan kosong.
“Ya, bukan gitu maksudku,
Fit … Aku tuh cuman …”
“Udah, deh, daripada
nambah galau mending abis ini kita jagungan aja! Gimana?” Rozi yang sedari tadi
diam menawarkan solusi.
“Ayok! Kebetulan aku juga
laper. Ntar ceritanya dilanjut di sana, sambil jagungan. Biar pikiranmu juga
rada tenang, Fit.” Kata Indi.
Fithri mengangguk tanda
setuju. Selepas shalat maghrib di mushola Fakultas Ilmu Budaya, mereka langsung
berjalan kaki menuju tenda jagung bakar langganan mereka. Tenda jagung bakar
itu terletak di depan MM UGM, bersebelahan dengan tenda yang menjual berbagai
macam gorengan.
Malam itu mereka menjadi
pengunjung pertama di tenda jagung bakar tersebut. Sambil menunggu pesanan
datang, Fithri melanjutkan kegalauannya yang tadi terputus di GSP.
“Jadi, aku harus gimana,
dong? Nggak bisa lupain dia, aaaaaaa!” Fithri bersiap-siap menumpahkan air
matanya lagi.
“Ngapain sih kamu mikirin
orang yang nggak serius mikirin kamu? Seenaknya aja main putus trus ngajak
balik lagi, kayak main layangan. Udah berapa kali kamu diginiin? Kalo aku jadi
kamu, udah kubuang ke laut kali!” Budi mulai jengkel. Ya, jengkel dengan sikap
Fithri yang tidak berubah sejak dulu. Tidak bisa bersikap tegas menghadapi
kekasihnya.
Entah sudah yang keberapa
kalinya gadis itu diputus secara sepihak hanya gara-gara masalah yang terkadang
menurut mereka sepele. Long distance relationship memang sering kali menimbulkan
pertengkaran-pertengkaran maupun kesalahpahaman. Entah sudah berapa kali Fithri
dan kekasihnya putus-nyambung. Sampai semua sahabatnya jengah. Jengah melihat
perlakukan kekasihnya yang dinilai terlalu protektif. Padahal mereka tahu,
Fithri sangat mencintai kekasihnya.
“Kok kamu sewot sih, Bud?
Aku ke sini mau curhat, bukan buat dibentak-bentak!” Fithri mendadak sakit hati
mendengar suara Budi yang melengking saking emosinya.
Rozi segera melerai. “Maksud
Budi bukan gitu, Fit. Dia cuman pengen kamu buka mata lebar-lebar …”
“Jadi maksudmu mataku
buta? Gitu?” Fithri bertambah emosi.
“Eh … eh, kok jadi
begini, sih? Kita kan ke sini buat ngademin kepala, bukan buat gontok-gontokan.
Jangan emosi gitu dong, Fit. Kita semua di sini berusaha ngasih solusi terbaik
…”
“Solusi apa? Aku tahu
kalian emang nggak suka sama dia, makanya kalian selalu nyinyir kalo aku cerita
tentang dia. Kalian bosen kan aku ocehin tentang dia mulu tiap hari? Oke fine,
mulai sekarang aku nggak akan pernah ngeluh ke kalian lagi!” Fithri menarik
tasnya yang tergeletak di meja, lantas meninggalkan tempat itu dengan air mata
berlinang. Dia benar-benar kecewa.
“Tuh, kan … Fithri jadi
ngambek, kan? Kamu sih, Bud, ngomongnya nggak bisa alus gitu,” Rozi ngedumel.
“Kok jadi nyalahin aku,
sih? Kan aku cuman pengin ngingetin dia biar nggak terlalu cinta sama cowok!”
Budi naik darah.
“Iya aku tahu maksudmu
emang baek, Bud. Tapi kamu tadi emang rada sengak ngomongnya. Situasi hati-nya
Fithri kan lagi sensitif begitu.” Rozi berusaha tetap kalem.
“Heh, kenapa malah kalian
yang berantem, sih? Malu tahu diliatin banyak orang!” Indi lama-lama kesal
melihat kedua sahabatnya adu mulut.
“Terserah! Aku mau
pulang!” Budi mengambil tas selempangnya, lalu berlalu dengan wajah merah
padam.
“Tadi Fithri yang
ngambek, sekarang gantian Budi. Dasar kayak anak kecil semuanya!” kata Rozi.
“Emang kamu nggak kayak
anak kecil juga? Udah tahu sifat Budi kayak gitu, malah disalah-salahin pas
lagi emosi!”
“Aku cuman pengen
ngingetin dia aja, Ndi!”
“Tapi kamu nggak tahu
tempat dan waktu yang tepat buat nasehatin orang!” teriak Indi penuh kekesalan.
Dia pun meninggalkan Rozi yang masih mematung.
***
FITHRI
Siang itu, Fithri makan
di Bonbin tanpa ketiga sahabatnya. Soto ayam yang tersaji di depannya perlahan
mendingin karena tak disentuh sama sekali. Beberapa meter dari tempatnya
berdiri, tampak Budi yang tengah membeli air mineral, lalu berlalu begitu saja.
Tak ada tegur sapa.
Jarak dua meja dengan
mejanya, Rozi tampak ramai bersama teman-teman. Berpura-pura tak melihat Fithri
sama sekali. Dan Indi? Entah ke mana dia. Mungkin sedang berkutat dengan
laptopnya di bangtem, entah menulis apa.
ROZI
Rozi memandangi
kontrakannya yang tampak lengang. Kedua teman sekontrakannya pergi entah ke
mana. Biasanya, siang-siang begini Budi suka ke kontrakannya untuk main game atau sekadar meminjam buku. Kalau
tidak, Indi dan Fithri yang datang dengan membawa sekarung makanan.
Masak-masakan.
Rozi lantas menyalakan
laptopnya, mecolokkan modem, lalu berselancar ke dunia maya. Facebook. Tampak
nama ketiga sahabatnya menyalakan lampu hijau di chatlist. Mereka online. Tapi,
tetap tak saling menyapa.
INDI
Sudah pukul 2 dini hari.
Penyakit insomnianya belum sembuh juga. Biasanya, dia akan iseng menjahili
ketiga sahabatnya yang tengah terlelap. Dia akan menelepon mereka
berulang-ulang, sampai mereka terbangun dan salah satu dari mereka akan
terpaksa menerima teleponnya. Mendengarkan ocehannya sampai pagi.
Indi berusaha memejamkan
matanya, namun tak bisa. Tidak ada yang bisa dia jahili malam ini. Tak sengaja
matanya menangkap sebuah foto yang terpasang di dinding kamarnya. Foto
bergambar empat orang yang tampak tertawa lepas. Foto yang menampakkan wajah
Rozi bak adonan kue, Fithri yang membawa bungkusan tepung, Budi yang tampak
memecahkan sebuah telur di atas kepada Rozi, dan fotonya sendiri. Foto itu
diambil di hari ulang tahun Rozi yang ke-20. Indi tersenyum, tapi sedetik
kemudian senyumnya menghilang.
BUDI
Di tangga GSP, Budi duduk sambil menikmati
senja seorang diri. Ada yang mengganjal di dadanya ketika melihat pemandangan
di bawah sana. Orang-orang berlarian, anjing kecil yang lucu, mbak-mbak penjual
roti, dan … ah. Biasanya, kalau sedang jenuh begini, dia akan berkumpul bersama
ketiga kameradnya. Menikmati senja bersama. Memakan jagung di tempat langganan.
Duduk melingkar di bunderan UGM sambil membincang mimpi 10 tahun ke depan.
Berenang di kala senggang.
Budi mengambil ponsel di
saku jaketnya, lalu memutuskan untuk mengirimkan sms untuk ketigas kameradnya.
Sore ini, senja di GSP bagus sekali.
Ah, sejak kapan dia jadi
melankolis begini?
***
“Argh! Banku kempes
lagi!” Fithri turun dari sepeda ontelnya sambil merutuk.
Sejak memutuskan untuk
pindah kost sebulan lalu, dia memutuskan untuk menggunakan sepeda ontel karena
jarak antara kampus dan kostnya yang cukup jauh. Sambil menggerutu, dia lalu
menepikan sepedanya ke pinggir jalan. Dia harus berjalan kaki selama 30 menit
untuk menemukan bengkel. Oh, sial!
“Sepedamu kenapa?” tanya
sebuah suara.
Fithri mendongak, lalu
menemukan wajah Budi di hadapannya.
“Biasa, ban-nya kempes.”
Jawab Fithri singkat.
“Udah tahu ban soak
begitu, masih aja dipake,” kata Budi sambil mengambil ponsel di saku celananya.
Fithri hampir memakinya, tapi terdiam setelah mendengar ucapan Budi.
“Rozi, kamu di mana? Ban
sepeda Fithri kempes lagi, nih! Iya, ini lagi di daerah Godean. Depannya toko
roti. Buruan ke sini!” kata Budi, lalu menutup ponselnya. Beberapa detik
kemudian dia kembali menelepon seseorang.
“Indi, di mana? Buruan ke
sini, ban sepeda Fithri kempes lagi. Di daerah Godean, depan toko roti
langgananmu itu. Cepetaaaaan, bawa makanan yang banyak! Kami udah kelaperan di
sini.”
Fithri langsung tertawa
mendengar ucapan Budi. “Kamu minta Indi ke sini? Ya ampun, kasihan tahu
dirampok melulu!”
“Ah, udah sih. Dia kan
udah dilantik jadi emak kita. Nggak sia-sia punya temen doyan makan kayak dia!
Hahahah!”
Mereka tertawa bareng.
Tak lama kemudian, Rozi datang bersama motor kesayangannya. Tanpa menunggu
lama, Budi langsung mengangkat sepeda Fithri, lalu meletakkannya di boncengan
motor Rozi.
“Ayo kita bawa ke
bengkel!” kata Budi.
Rozi mengangguk, lalu
motor pun melesat. Di tempatnya berdiri, Fithri tak bisa mengatakan apapun. Ada
segumpal haru yang membuncah di dadanya.
“Fit!” panggil Indi.
Fithri menoleh dan
menemukan Indi yang bertengger di atas motor.
“Mana anak-anak?”
“Lagi naroh sepeda ke
bengkel. Lima menit lagi juga udah balik, kok.”
Indi mengangguk, lalu
memarkir sepeda motornya di depan toko roti langganannya. Tak lama kemudian,
Rozi dan Budi datang. Melihat Indi yang tak membawa apapun, Budi mencak-mencak.
“Kok nggak bawa makanan,
sih?”
“Males belanja. Masuk
sini aja, yuk, aku traktir kalian sepuasnya deh!” kata Indi sambil masuk ke
toko roti.
“Aseeeek!! Makan-makan!”
Di dalam, mereka
mengambil tempat paling pojok. Sambil menunggu pesanan datang, Indi nyeletuk.
“Kemarin siapa ya yang
kirim sms ‘sore ini, senja di GSP bagus sekali’. Melankolis banget, hahahah!”
Budi langsung melempar
Indi dengan kotak tissue. “Sialaaaan, itu karena aku lagi kangen sama kalian
tahu!”
“Budi kalo lagi melow
jadi lucu banget, hahahaha!” Rozi menambahkan.
“Hahahaha, iyaaaa.
Biasanya juga sok cool gitu, hahaha!” kata Fithri.
“Terus aja nge-bully
aku!” Budi mendengus, tapi kemudian tersenyum.
“Lagian, mana tahan aku
diem-dieman lama sama kalian.”
Mereka kemudian terdiam.
Fithri yang selalu merasa bersalah kapan pun dan di mana pun langsung meminta
maaf.
“Ini semua gara-gara aku.
Maaf, ya … aku kemarin emang lagi emosi banget.” Fithri menundukkan muka.
“Udahlah, yang berlalu
biarlah berlalu,” Budi sok puitis. “Aku juga salah, kok. Omonganku emang suka
ceplas-ceplos. Lain kali aku nggak gitu lagi, deh …”
“Iya, Fit, sori juga kalo
kemarin kata-kataku nyinggung kamu. Aku nggak maksud …”
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!”
Indi tiba-tiba ngakak begitu keras.
“Kamu kenapa, sih?
Kesambet?” Budi heran.
“HAHAHAHAHAH! Aduh, sumpah,
lihat kalian maap-maapan tuh lucu banget. Kenapa jadi sok melankolis lagi, sih?
Udah, ah, yuk makan aja! Aku udah laper banget!” kata Indi sambil mencomot
sebuah donat yang baru saja diantar oleh pelayan.
Budi, Rozi, dan Fithri
sontak tertawa, lalu melempar Indi dengan kotak tissue yang tersedia di meja.
Tawa itu … tampak begitu
lepas.
Pare, Kamis 11 Juli 2013.
Teruntuk: Fithri Maulani Yarhamniya. :)
Iya, senja di GSP selalu bagus. Dan entah sejak kapan kita tidak menikmatinya lagi. Lupa.
BalasHapus| Bagus Ndi :D
Rindu ... rindu ... rindu KITA :)
BalasHapus