Menyingkir

"Aku harus pergi," kataku.
"Kenapa? Ada yang salah denganku?" tanyamu dengan penuh selidik.
"Kau menakutkan." Aku menunduk.
"Menakutkan bagaimana?"
"Pokoknya kau menakutkan!" kataku sembari beranjak dari hadapanmu. Tapi tanganmu mencengkeram tanganku erat. Tidak terima kutinggalkan begitu saja.
"Aku salah apa?" kau setengah membentak setengah bingung setengah merasa bersalah dengan nada suaramu.
"Ini mulai tidak benar. Semuanya tak lagi sama. Aku merasa ... ada yang berbeda. Aku harus sesegera mungkin mengenyahkan hal yang terasa ganjil ini."
Kau menatapku sambil memicingkan mata. "Apanya yang ganjil?"
Aku menghela napas berat, lalu jari telunjukku menunjuk dada. "Ini. Ada yang ganjil di sini."
"Kau sakit?" wajahmu mendadak khawatir.
Aku menggeleng, mengangguk, kemudian menggeleng. "Mungkin saja aku sakit. Sakit jiwa tepatnya."
Kau terdiam. Lebih tepatnya, kau tampak bingung dan kesulitan mencerna kata-kataku.
"Sudahlah. Sebelum keganjilan itu semakin bertambah dan berubah menjadi sesuatu seperti yang sudah-sudah, lebih baik aku pergi. Menyingkir sejenak dari hidupmu."
"Sampai kapan?" tanyamu kelu, penuh rasa ingin tahu.
"Sampai semuanya kembali normal. Dan tidak ada keganjilan-keganjilan lagi di sini," telunjukku kembali menunjuk dada.
Detik berikutnya, aku melangkah pergi. Membiarkanmu berdiri mematung. Biar. Biar sudah. Aku akan pergi. Menghilang. Entah sampai kapan.


Jogja, Rabu 27 November 2013.
Pukul 01.10 WIB
-Ketika keganjilan-keganjilan itu terasa semakin nyata-

This entry was posted on Selasa, 26 November 2013. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

5 Responses to “Menyingkir”