Aku menatap dua angka yang tercetak manis di sampul proposal seminar sastraku. Senang bercampur sedih. Senang karena aku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, sedih karena aku tidak berusaha dengan maksimal.
"Gila kamu, Ndi. Anak-anak yang ngerjain jauh-jauh hari saja banyak yang dapat tiga, empat, lima, dan coretannya Bu Tuti dengan Pak Rudi edan tenan. Lha kamu, baru ngerjain 3 jam sebelum deadline, tapi dapat nilai bagus begitu." komentar Ronal, ketua angkatanku, sembari menyerahkan proposal seminar sastra ke tanganku.
Aku hanya nyengir. "Aku kemarin emang kayak orang nggak niat, Nal. Nggak mood ditambah kesel gara-gara nggak nemu referensi yang kuinginkan."
Selesai berkata begitu, aku lantas memerhatikan dengan cermat di mana letak kesalahan pada proposalku. Dan, ini yang paling membuatku menyesal sedalam-dalamnya. Bu Tuti hanya mencoret-coret bagian tertentu yang menurutku remeh tapi luput dari perhatianku. Daftar pustaka yang berantakan alias lupa tidak dibenahi tata letaknya, lupa memberi sumber kutipan sehingga dianggap plagiasi, tidak mengecek ulang tata bahasa yang sesuai dengan teknik penulisan ilmiah, dan hal-hal sepele lainnya. Alhasil, aku hanya memperoleh nilai 75 saja. Nilai yang bagi teman-teman bagus, tapi sangat menyesakkan buatku.
Ini bukan masalah nilai, dear. Aku menyesali sikapku kemarin yang setengah hati, padahal sejujurnya aku bisa mengerjakan dengan maksimal. Apa susahnya sih mencari referensi di perpustakaan barang sehari dua hari? Saking santainya, aku baru mengerjakan semua itu tiga jam sebelum batas pengumpulan tugas UTS. Yeah, teman-teman selalu menyebutku Miss Deadliner. Tukang kebut semalam.
Coba aku mengerjakannya jauh-jauh hari, melakukan riset mendalam, mencermati tata bahasa sampai Bu Tuti tidak bisa menemukan kesalahan dalam proposalku, dan menghadirkan teori yang tidak asal tempel. Aku benar-benar berminat dengan novel Semusim, dan Semusim Lagi. Akhir-akhir ini aku tertarik dengan psikologi sastra. Dan novel itu bisa kuteliti dengan pendekatan teori tersebut. Ditambah lagi, kajian psikologi sastra sangat minim (untuk bilang tidak ada) di jurusanku. Dari sekian banyak skripsi, aku hanya menemukan tiga skripsi yang menggunakan teori psikologi sastra.
Dan semuanya semakin terasa menyesakkan ketika Andina Dwifatma, penulis novel Semusim, dan Semusim Lagi, dengan santainya meminta tulisan itu.
"Aku mau baca dong!"
Mati lah. Mana mungkin aku memberikan tulisan acakadul itu kepada penulis yang novelnya tengah kuteliti? T.T
Malu. Malu. Malu. Apalagi aku anak sastra Indonesia. Masa iya tulisannya acak-acakan nggak jelas begitu? Pokoknya, sebelum tulisan itu sampai di tangan Andina, aku harus memperbaikinya habis-habisan. Harus maksimal. Peduli setan jadwal presentasiku masih lama, yang penting aku harus merevisi proposal ini secepatnya, lantas menyerahkannya pada Bu Tuti. Aku selalu cocok berkonsultasi masalah akademik dengan beliau. Meskipun kritikan beliau sepedas maicih level 10, tapi semua itu sangat berguna untuk perkembangan tulisanku.
Duh, rasanya masih nyesek melihat proposal tadi. Hah, yo wis lah. Mau gimana lagi?
"Gila kamu, Ndi. Anak-anak yang ngerjain jauh-jauh hari saja banyak yang dapat tiga, empat, lima, dan coretannya Bu Tuti dengan Pak Rudi edan tenan. Lha kamu, baru ngerjain 3 jam sebelum deadline, tapi dapat nilai bagus begitu." komentar Ronal, ketua angkatanku, sembari menyerahkan proposal seminar sastra ke tanganku.
Aku hanya nyengir. "Aku kemarin emang kayak orang nggak niat, Nal. Nggak mood ditambah kesel gara-gara nggak nemu referensi yang kuinginkan."
Selesai berkata begitu, aku lantas memerhatikan dengan cermat di mana letak kesalahan pada proposalku. Dan, ini yang paling membuatku menyesal sedalam-dalamnya. Bu Tuti hanya mencoret-coret bagian tertentu yang menurutku remeh tapi luput dari perhatianku. Daftar pustaka yang berantakan alias lupa tidak dibenahi tata letaknya, lupa memberi sumber kutipan sehingga dianggap plagiasi, tidak mengecek ulang tata bahasa yang sesuai dengan teknik penulisan ilmiah, dan hal-hal sepele lainnya. Alhasil, aku hanya memperoleh nilai 75 saja. Nilai yang bagi teman-teman bagus, tapi sangat menyesakkan buatku.
Ini bukan masalah nilai, dear. Aku menyesali sikapku kemarin yang setengah hati, padahal sejujurnya aku bisa mengerjakan dengan maksimal. Apa susahnya sih mencari referensi di perpustakaan barang sehari dua hari? Saking santainya, aku baru mengerjakan semua itu tiga jam sebelum batas pengumpulan tugas UTS. Yeah, teman-teman selalu menyebutku Miss Deadliner. Tukang kebut semalam.
Coba aku mengerjakannya jauh-jauh hari, melakukan riset mendalam, mencermati tata bahasa sampai Bu Tuti tidak bisa menemukan kesalahan dalam proposalku, dan menghadirkan teori yang tidak asal tempel. Aku benar-benar berminat dengan novel Semusim, dan Semusim Lagi. Akhir-akhir ini aku tertarik dengan psikologi sastra. Dan novel itu bisa kuteliti dengan pendekatan teori tersebut. Ditambah lagi, kajian psikologi sastra sangat minim (untuk bilang tidak ada) di jurusanku. Dari sekian banyak skripsi, aku hanya menemukan tiga skripsi yang menggunakan teori psikologi sastra.
Dan semuanya semakin terasa menyesakkan ketika Andina Dwifatma, penulis novel Semusim, dan Semusim Lagi, dengan santainya meminta tulisan itu.
"Aku mau baca dong!"
Mati lah. Mana mungkin aku memberikan tulisan acakadul itu kepada penulis yang novelnya tengah kuteliti? T.T
Malu. Malu. Malu. Apalagi aku anak sastra Indonesia. Masa iya tulisannya acak-acakan nggak jelas begitu? Pokoknya, sebelum tulisan itu sampai di tangan Andina, aku harus memperbaikinya habis-habisan. Harus maksimal. Peduli setan jadwal presentasiku masih lama, yang penting aku harus merevisi proposal ini secepatnya, lantas menyerahkannya pada Bu Tuti. Aku selalu cocok berkonsultasi masalah akademik dengan beliau. Meskipun kritikan beliau sepedas maicih level 10, tapi semua itu sangat berguna untuk perkembangan tulisanku.
Duh, rasanya masih nyesek melihat proposal tadi. Hah, yo wis lah. Mau gimana lagi?