Seharian ini aku mager di kosan. Hidupku hanya berkisar antara nyuci baju seabrek-abrek, memasak, membersihkan kamar yang penuh dengan buku berserakan di lantai, gulung-gulung di kasur akibat nyeri PMS (sumpah, menderitaaa!), dan tentu saja
online. Hahaha. Dan di siang bolong, selepas mencuci baju, aku
online di
facebook sambil nge-
youtube. Sebuah pesan masuk ke inbox, yang intinya begini, "Emangnya Indiana udah baca?". Aku menepuk jidat. Hampir lupa, novelnya Kak Fiza! Yep, ceritanya dia baru saja bikin novel dan seminggu yang lalu ngirim
soft file novel ke inbox FB buat kubaca. Judulnya
Rambu Solo. Men, dia nulis novel itu dalam 7 hari! 101 halaman satu spasi, itu gila! Kalau aku jadi dia, mungkin aku udah kayak zombie, hahaha. Novel itu dia tulis buat diikutin lomba nulis nusantara. Dan baru hari ini aku sempet baca, setelah beberapa kali dia nanya, "Udah kelar dibaca?". Hahaha, gomen. Seminggu kemarin lagi rempong nyiapin ujian bahasa Jepang
dan kena remidi.
Seharian ini aku mantengin
Rambu Solo, di sela-sela kegiatan lain. Dan yeah, novel itu baru saja kuselesaikan beberapa menit yang lalu. Entah apa yang harus kukatakan. Yang jelas, novel ini benar-benar keren. Dan tentu saja, membuatku semakin kaya akan pengetahuan tentang budaya Indonesia.
Apa sih
Rambu Solo itu?
Rambu Solo adalah upacara adat Tana Toraja untuk pemakaman jenazah. Ada beberapa persyaratan sebelum melakukan Rambu Solo, salah satunya adalah memberikan persembahan berupa kerbau dan babi. Jumlah hewan disesuaikan dengan kasta. Jika keluarga yang ditinggalkan berasal dari golongan bangsawan, hewan yang dikurbankan harus lebih banyak dan tentu saja meriah.
Membaca novel ini membuatku seakan-akan berpindah tempat dari kamar kost ke Tana Toraja. Aku bisa 'melihat' bagaimana upacara adat tersebut dilaksanakan, kerajinan tangan Tana Toraja yang begitu memukau, tari-tarian, yah ... semua suasana dalam novel itu. Aku seolah dibawa ke lorong waktu.
Ada tiga hal yang membuatku terpukau dengan novel ini. Pertama, bagian pembuka novel yang menyajikan Q.S Al-Maidah: 32.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi
Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Ayat tersebut lah yang menjadi jawaban ketika To Minaa (pendeta Aluk) bertanya kepada Chen, seorang muslim yang menyukai dunia pengobatan herbal, "Mengapa So' Chen bisa memberi pertolongan tanpa imbalan? Sudah langka sekali zaman sekarang. Di mana-mana pengobatan selalu minta bayaran."
“Itu yang
diajakan agama saya, Pak!” jawab Chen tegas dan lembut.
“Bukankah kita berbeda agama?” tanya
To Minaa kembali di hadapan keluarga warga yang mengalami patah tulang
tersebut. “Dan, saya dengar, orang-orang yang tidak beragama Islam disebut
kafir dan halal untuk dibunuh.”
Chen lantas membacakan ayat tersebut. “Maksud
sederhananya,” jelas Chen, “Bila kita membantu atau berbuat baik pada
seseorang, kita berarti membantu atau berbuat kebaikan pada semesta alam. Dan
bila sebaliknya dan tanpa alasan yang adil, kita berarti merusak semesta alam. Saya
sendiri ingin mencari nafkah sebagai pedagang, bukan sebagai tabib. Mengobati
bagi saya hanya untuk amal semata. Dan, alhamdulillah, di Makale saya sudah
punya perusahaan sendiri—meski baru kecil-kecilan. Usaha kedua paman saya pun
lancar, berkembang pesat, dan penuh berkat. Tahun depan kedua paman saya akan
naik haji bersama keluarga mereka. Kita lihat pula di tondok ini. Oh, tampaknya
saya tidak perlu menjelaskan lebih banyak. Dalam dua tahun, banyak berkat yang
kita nikmati bersama. Inilah anugerah Tuhan yang saya yakini—Tuhan Semesta
Alam.”
Ya, betapa agama bukanlah alasan untuk tidak menolong orang lain yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita. Agamamu, ya, agamamu. Agamaku, ya, agamaku. Mari berbuat kebaikan. Sesederhana itu :)))
Kedua, aku suka dengan pemikiran tokoh Chen, Bua', Duma', dan Rante mengenai pendidikan. Mereka mendirikan Sekolah Rakyat dan mengajari penduduk tondok(kampung) mengenai banyak hal. Duma' menjadi guru tari. Chen mengajar tentang pengobatan herbal. Rante mengajar matematika. Dan Bua' mengajar tenun. Ya, ilmu memang bisa didapatkan di mana saja. Tak harus di sekolah formal yang kebanyakan menjadikan siswanya sebagai robot. Siswa hanya dijejali beragam mata pelajaran sama rata, tanpa melihat bakat atau kemampuan khusus yang ada pada diri siswa.
Ketiga, aku menyukai kalimat Mahatma Ghandi yang diselipkan di novel ini: hanya orang kuat yang mampu memaafkan. God, menangislah aku membaca ini. Fix, endingnya sukses bikin aku mewek. Walaupun ritme ending dalam novel ini terlalu cepat menurutku, tapi aku tetap saja terkejut ketika mengetahui siapa Rante sebenarnya.
Sumpah, sampai sekarang aku heran. Itu Kak Sulfiza bikin novel sekeren ini, dalam waktu seminggu, gimana caranyaaaa? Novelnya dalam, karakternya kuat, penjelasan setting-nya pun bagus. Heran. Untuk ukuran novel serius, ini amazing! Aku yakin, novel ini bakal tambah keren kalau dia sunting lagi. Karena aku beberapa kali nemu tanda baca salah dan nama tokoh yang ketuker-tuker, hehehe. Maklum sih, dikejar deadline -____-''
Duh, sebenernya pengen ngasih bocoran tentang isi novel ini. Tapi, enggak dulu, deh. Ini kan lagi diikutin lomba, takut ntar dia kena diskualifikasi gegara aku, hahahaha. Bagi kamu yang penasaran, cabal ea. :P
Oke, Kak Fiza. Kutunggu karyamu terbit (dan ini memang layak terbit)!