Sudah Lima Tahun (Edisi SMP)




            2006.

            MOS sudah lama berlalu. Tapi kejadian Mabit itu masih belum sepenuhnya hilang dari ingatan. Hatinya seringkali terasa nyeri ketika mengingat raut wajah penuh duka itu. Aih, ada apa dengannya? Dia sudah berusaha mengenyahkan pikiran konyol itu, tapi nyatanya semakin melekat di kepala. Sial!
            “Ya, ayo masuk! Pak Yuda sudah di dalam tuh!” Rara mencolek bahu Alya sambil tersenyum.
            “Iya, kamu duluan aja,” kata Alya.
            Alya melepas pandangannya ke arah kelas 2 B sekali lagi. Dia memang suka menatap kelas itu akhir-akhir ini. Lima detik kemudian, wajah Jesta keluar dari kelas 2 B. Oh, astaga! Alya buru-buru masuk kelas dengan pipi memerah.

            “Al, ini hasil ulangannya!” Rara menyodorkan selembar kertas kepada Alya.
            “Hhh … kenapa tidak kau buang saja?” Alya mendengus menatap hasil ulangan fisika di tangannya. Ada angka 58 tercetak manis di kertas itu.
            “Ayo, belajar lebih keras lagi!” kata Rara sambil tersenyum menyemangati.
            Alya mengangguk ogah-ogahan. Fisika dan Matematika merupakan pelajaran yang sangat dia benci sejak terlahir ke bumi. Dia sangat tidak suka pelajaran hitung-hitungan. Baginya itu terasa memuakkan. Apa asyiknya bergumul dengan angka-angka yang menghasilkan jawaban pasti itu?
            “Aku nggak suka jawaban pasti, rasanya kurang menantang,” kata Alya ketika Rara bertanya mengapa dia sangat membenci angka (kecuali angka uang).
            “Berarti kamu nggak suka kepastian dong?” tanyanya lagi sambil tersenyum simpul.
            Alya terperanjat. Apa maksudnya itu?
            “Aku lebih suka mengutak-atik bahasa,” kata Alya akhirnya.
            Suara Pak Yuda menghentikan bisik-bisik mereka. Beliau tampak kecewa dengan hasil ulangan anak-anak. Hanya 20% yang mendapatkan nilai memuaskan. Dan tiba-tiba saja, beliau membangga-banggakan salah satu murid kesayangannya yang berhasil mengharumkan nama sekolah.
            “Contohlah kakak kelas kalian, si Jesta itu. Anak itu mampu membawa nama baik sekolah kita di setiap lomba. Saya tidak segan-segan membebaskannya dari jam pelajaran fisika ketika mampu menjawab soal-soal rumit, memangnya kalian tidak ingin?”
            Jantung Alya kembali berdegup keras ketika mendengar nama itu disebut. Kenyataan bahwa Jesta adalah anak yang pintar semakin menambah kekagumannya. Apalagi, dia juga tak banyak bertingkah seperti teman-teman lainnya. Setiap jam setengah tujuh pagi, Alya akan duduk rapi di depan kelas dan menemukan Jesta yang lewat dengan sepeda merahnya. Atau kalau tidak, dia akan mendapati Jesta lewat di depan rumahnya ketika pulang sekolah.
Anak itu memang ramah kepada semua orang. Dia baik, aktif di kegiatan organisasi, pandai, dan juga … astaga! Alya menggelengkan kepalanya keras-keras. Kenapa pikirannya melantur ke mana-mana?
“Ah, ya. Saya membuka pendaftaran les fisika. Satu minggu dua kali pertemuan, setiap hari selasa dan kamis. Kalau kalian berminat, kalian bisa mengisi formulir itu,” kata Pak Yuda sembari membagikan brosur dan formulir pendaftaran.
Alya menatap formulir itu tanpa minat.
“Kak Jesta juga ikut les ini lho. Katanya sih asyik lesnya. Pantesan aja dia jadi anak kesayangannya Pak Yuda,” kata Julie yang duduk tepat di belakang Alya.
“Oh ya?” mulut Alya membulat. Tanpa sadar tangannya meraih pulpen, lalu mengisi formulir itu.
***
Hari-hari Alya pun berubah. Entah kerasukan apa, anak malas itu kini rajin berangkat les. Tak tanggung-tanggung, dia juga mengambil les matematika. Senin dan rabu les matematika, selasa dan kamis les fisika, jumat sore latihan HW (Hizbul Wathan/semacam pramuka), sabtu sore IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah/semacam pengajian remaja), dan hari minggu pulang ke rumah orang tuanya (selama ini dia ikut tantenya). Praktis, jadwal gadis itu padat sekali. Sok sibuk.
Kenapa dia melakukan semua ini? Hatinya berusaha mengingkari, tapi mau tak mau dia harus mengakui. Dia tak menemukan alasan lain selain karena laki-laki itu. Dia sangat terobsesi untuk mengusai dua mata pelajaran sulit itu (sekaligus mencari perhatian). Selain itu, dia juga tak ingin tampak bodoh di depan Jesta.
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu berlalu tanpa kemajuan berarti. Otaknya masih bebal untuk menangkap materi. Alya kesal setengah mati menatap kertas ulangan yang masih meninggalkan nilai merah. Kenapa dia bodoh sekali?
“Ayo, siapa yang bisa menyebutkan teori kabut nebulla?” tanya Pak Yuda setelah memberikan materi les sore itu.
Alya mengangkat tangan tanpa sadar.
“Ya, silahkan Alya,” kata Pak Yuda.
“Sebenarnya … saya masih kurang jelas dengan teori itu, Pak,” kata Alya jujur.
Pak Yuda pun menjelaskan kembali teori itu. Alya memperhatikannya dengan baik. Tangannya sibuk mencatat. Kali ini dia harus bisa!
Minggu berikutnya, Alya belajar mati-matian. Ujian semester tinggal beberapa minggu lagi. Tiada hari tanpa menghafalkan rumus dan latihan soal. Dan saat hari yang ditunggu-tunggu itu tiba, Alya membabat habis soal itu dengan maksimal.
100. Alya melotot menatap tiga angka yang tercetak di kertas ujian. Ha? Bagaimana mungkin?!
“Belajar lebih giat lagi ya, Al,” Pak Yuda menyunggingkan senyum lebar saat les fisika sore itu.
Hari ini Alya berhasil menghafalkan teori kabut tanpa cela sedikitpun. Wajah Pak Yuda tampak sumringah. Puas dengan perkembangan pesat Alya. Ya, dia berhasil!
“Hai Kak Jesta, aku bisa membuktikan kalau aku bisa!” teriak Alya dalam hati.

***
2007.

Satu tahun sudah perasaan aneh itu menjangkiti hatinya. Dan selama itu pula, Alya melakukan hal-hal yang terkadang membuatnya terheran-heran dengan dirinya sendiri. Setiap pagi, dia selalu duduk di depan kelas sembari menatap gerbang sekolah, menanti laki-laki bersepeda merah itu lewat. Atau kalau tidak, dia akan menunggu laki-laki itu lewat di depan rumahnya, dan diam-diam dia akan mengikutinya dari belakang. Berangkat sekolah ‘bersama’.
Saat bel istirahat berbunyi, dia akan menyelinap ke perpustakaan dan menemukan dirinya asyik membaca entah buku apa. Atau berlama-lama duduk di koperasi ketika melihatnya di sana. Atau rajin berangkat HW agar bisa bertemu dia. Atau rajin berangkat IRM agar bisa mendengarnya membaca Al-Qur’an. Atau ikut les fisika dan matematika agar bisa sepandai dia. Atau lewat di depan rumahnya dengan berpura-pura membeli kornet yang letaknya hanya beberapa langkah dari rumahnya. Atau membuat puisi dan menulis diary tentangnya. Ya, semua itu tentangnya.
Kenapa semua itu tentangnya? Entahlah. Dia juga bingung.
Ketika bulan ramadhan tiba, semua anak kelas 2 wajib mengikuti Darul Arqam selama seminggu penuh. Tak di sangka-sangka, Jesta ada di sana. Tidak … dia tidak menjadi trainer atau apa pun. Hampir setiap hari dia berkutat di lab komputer bersama seorang guru. Entah mengerjakan apa. Yang jelas, Alya merasa senang.
Dia suka ketika melihatnya tengah menikmati hidangan buka puasa. Dia suka ketika melihatnya makan sahur bersama teman-teman. Dia hafal kalau adzan telah berkumandang, Jesta akan mempercepat langkahnya ke Masjid dan mengambil shaf paling depan. Dia hafal kapan anak itu berangkat dan pulang sekolah. Dia hafal kapan anak itu berangkat les dan dia akan menatapnya diam-diam dari balik jendela kamarnya. Dia hafal kapan anak itu akan ke rumahnya (maksudnya rumah tante) untuk membeli beberapa kg telur untuk dijual kembali di tokonya. Semuanya dia hafal di luar kepalanya.
Ya Tuhan, sepertinya Alya mulai gila! Alya merasa bahwa otaknya sudah error. Bagaimana mungkin gadis sebrutal dia bisa menyukai laki-laki yang … ehm, terlalu lemah-lembut seperti Jesta? Bagaimana mungkin laki-laki pendiam itu bisa mencuri hatinya? Alya resah. Penampilan dan perilakunya yang jauh dari kesan kalem bin lemah-lembut ternyata tidak sejalan dengan hatinya yang lebih memilih laki-laki anteng. Alya pecicilan dan tak bisa diam, Jesta tak banyak tingkah. Alya memiliki lebih banyak teman laki-laki dibanding perempuan, Jesta sebaliknya. Alya suka main ke mana-mana, Jesta anak rumahan dan sangat penurut. Pendek kata, Alya dan Jesta bagaikan langit dan bumi!
“Alya, kamu bersedia saya ikutkan olympiade Fisika?” pertanyaan Pak Yuda yang tiba-tiba langsung membuat Alya mencelos dan kaget setengah mati.
“Apa, Pak?” Alya masih belum mampu mempercayai pendengarannya.
“Sebentar lagi ada olympiade fisika di UMM. Kamu mau ikut? Saya lihat nilai kamu mengalami peningkatan,” jawab Pak Yuda. Beliau terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Nanti bergabung dengan anak-anak kelas 3 juga.”
Alis Alya terangkat. Anak-anak kelas 3? Ya Tuhan, semua orang juga tahu siapa yang paling ahli dalam soal fisika!
“Olympiadenya tak hanya fisika, tapi juga ada matematika dan bahasa inggris. Terserah mau pilih yang mana, tapi saya sarankan fisika saja karena kemapuan kamu di situ. Nanti kamu akan ikut seleksi tingkat sekolah dulu. Kalau lolos, nanti satu kelmpok dengan anak-anak kelas 3,” jelas Pak Yuda panjang lebar.
Alya menelan ludah. Satu kelompok dengan Jesta merupakan salah satu hal yang paling diinginkannya selama ini.
“Insya Allah saya akan ikut, Pak.” Kata Alya.
Sesampainya di rumah, Alya melompat-lompat kegirangan. Kak Ayumi yang kebetulan ada di kamarnya memandangnya dengan heran.
“Kamu kenapa?” tanya Kak Ayumi.
“Nggak papa, Kak,” jawab Alya sambil tersenyum.
Kak Ayumi memandangnya dengan mata menyelidik. “Bener nggak papa?”
Alya menggeleng.
“Ya udah, aku keluar dulu ya. Mau belajar kelompok sama Jesta dan teman-teman lain,” kata Kak Ayumi sambil meraih tas sekolahnya.
“Ha?” Alya mendelik, tapi buru-buru mengubah raut wajahnya ke mode normal, “Ya udah, ati-ati, Kak.”

***
Alya benar-benar seperti orang kesurupan. Setiap hari dia belajar fisika mati-matian. Seleksi akan diadakan seminggu lagi. Alya harus mempersiapkan semuanya dengan maksimal. Dibukanya semua catatan dan soal-soal fisika. Dia bahkan berlatih soal fisika untuk kelas 3 SMP. Dia harus bisa!
Dia rajin berangkat les dan tak segan-segan menanyakan soal yang tak dipahaminya kepada Pak Yuda. Orang itu tentu saja senang dengan kemauan keras Alya. Beliau tak pernah tahu bahwa ada udang di balik batu!

Dua hari menjelang tes …
“Haaaaatchi!” Alya menutup hidungnya untuk ke sekian kali. Sudah tiga hari ini dia terserang flu berat. Saat itu memang musim hujan.
Alya memandangi soal fisika di hadapannya. Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut, dia memaksakan diri untuk mengerjakan semua soal itu. Dia harus bisa!

Satu hari menjelang tes …
Hari ini Alya tak masuk sekolah. Sakit di kepalanya tak kunjung sembuh. Dia pun terpaksa meringkuk di dalam kamar seharian. Obat dari Dokter dia minum dengan teratur. Apa pun yang terjadi, dia harus sembuh! Dia tak ingin perjuangannya selama ini berakhir sia-sia. Gadis 14 tahun itu kembali meraih bukunya, lalu mulai mengerjakan soal dengan tangan bergetar.

Hari H pun tiba …
Tubuh Alya menggigil. Dia terserang demam tinggi. Panas di tubuhnya tak kunjung turun. Napasnya naik turun tak beraturan. Dia benar-benar tak bisa bangun dari tempat tidur.
“Antarkan aku ke sekolah, Tante …,” kata Alya.
“Kau ini sakit! Istirahat saja di rumah,” jawab Tante.
“Tapi hari ini aku ada tes buat olympiade …,” terpatah-patah Alya mengatakannya.
“Ya, tapi mana mungkin kau bisa berpikir dalam keadaan sakit? Tante tak mau mendengar Ayahmu marah-marah nanti!”
“Tak usah bilang ke Ayah …,”
Alya tetap bersikeras. Tante pun luluh. Beliau kemudian mengantarkan keponakannya itu ke sekolah. Dengan terhuyung-huyung, Alya masuk ke dalam kelas.
Soal pun dibagikan. Alya meraih kotak pensil, lalu mengambil sebuah pensil 2 B dengan tangan bergetar. Dia bersikeras mengerjakan soal itu, namun sakit di kepalanya tak kunjung reda. Dia hanya mampu bertahan 30 menit, selebihnya dia tak mampu melakukan apa-apa. Akhirnya, dengan berat hati dia pun rela pulang ke rumah. Tante yang menjemputnya langsung mengomel panjang lebar.
“Kubilang juga apa, istirahat saja di rumah. Jangan memaksakan diri seperti itu. Kau masih kelas 2, kesempatanmu masih banyak. Coba kalau Ayahmu tahu, pasti dia akan marah-marah! Sudah, cepat minum obat bla … bla … bla …”
Alya tak mendengarkan semua ucapan Tantenya. Begitu memasuki kamar, dia langsung menyelimuti tubuhnya yang menggigil. Sedetik kemudian, air matanya luruh. Semakin lama semakin deras …
“Maafkan aku, Pak Yuda … Maafkan aku …,” rintihnya pilu.
Kemudian, wajah Jesta kembali membayang di depan matanya. Isaknya makin keras terdengar, lalu berubah menjadi teriakan penuh kekecewaan…

***

Sekarang, Alya sudah jarang bertemu Jesta. Jika setiap pagi dia bisa melihat Jesta menuntun sepeda merahnya dari gerbang sekolah, kini tidak lagi. Laki-laki itu kini berangkat lebih awal karena ada les tambahan untuk persiapan UAN.
Alya menggit bibir. Bayangan perpisahan itu tiba-tiba menari-nari di depan mata. Sebentar lagi, Jesta akan lulus dari SMP ini. Dan selama ini, mereka tak pernah saling berbicara satu sama lain. Ya, Alya terlalu malu untuk menyapanya, apalagi mengajaknya berbicara. Dia menyukai laki-laki itu dalam diam. Hanya dalam diam.
Hari-hari pun berganti dengan cepat. Rapor kenaikan kelas sudah dibagikan sejak kemarin. Alya termenung sambil memandangi kelas 3 B. Biasanya, dia menatap punggung laki-laki itu keluar dari kelas. Atau melihatnya duduk-duduk di kursi panjang bersama teman-temannya.
“Hei, sekolah kita dapat peringat tertinggi lho untuk UAN-nya!” teriak Julie heboh.
“Waaaah, Alhamdulillah!” seru Lina.
“Kak Jesta memang hebat!” kata Julie lagi.
Telinga Alya melebar begitu mendengar nama laki-laki itu. “Apa katamu?”
“Tuh, pengumumannya ada di papan sebelah sana!” Julie menunjuk papan pengumuman di depan kantor.
Alya langsung bergegas ke sana. Dia sangat penasaran. Matanya langsung menjelajahi nama-nama yang terpampang di sana. Benar. Jesta Darmawan berada di urutan teratas. Dia berhasil menyabet nilai 10 untuk 3 mata pelajaran, dan nilai 9 untuk satu mata pelajaran. Dia benar-benar hebat!
“Kau memang luar biasa,” bisik Alya sembari menyentuh nama itu. Ada rasa bahagia yang membuncah di dadanya. Kagum dan juga … bangga!

***

2008.

Semuanya mendadak hilang dari pandangan. Tak ada lagi laki-laki yang menuntun sepeda merah dari gerbang sekolah. Tak ada lagi laki-laki yang lewat di depan rumahnya setiap berangkat dan pulang sekolah. Tak ada lagi laki-laki yang merelakan dirinya membaca Al-Qur’an saat IRM sementara teman-temannya saling menunjuk. Tak ada lagi laki-laki yang tampak serius membaca buku di perpustakaan. Tak ada lagi laki-laki yang datang HW setiap jumat sore. Tak ada lagi laki-laki yang selalu menempati shaf terdepan saat shalat Duhur. Semuanya berlalu bersama waktu.
Ada yang hilang, dan Alya merasa hatinya tak lagi lengkap ketika tak menemukan senyum ramah itu. Senyum yang mampu mengantarkannya pada serentetan cerita menakjubkan yang tak pernah dia duga. Ke mana perginya senyum itu? Dia begitu merindukannya. Sungguh!
“APA? KAK JESTA? HUAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!” Julie terjungkal dari tempat duduknya begitu mendengar sebaris kalimat dari mulut Alya. Wajahnya tampak merah. Tawanya meledak-ledak. Saat itu, kelas sedang sepi. Hanya ada Alya dan Julie.
Alya menatapnya sebal. “Kau ini kenapa?”
“HUAHAHAHAHA!! HAHAHAHAHA!! HAHAHAHA!!” Julie masih ngakak.
“Hei, kau ini kenapa sih?”
“HAHAHAHAHAAAAAA!!!”
“Apa ada yang aneh?!!”
“HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!” kali ini Julie memegangi perut. Air matanya keluar karena terlalu banyak tertawa.
“JULIE ….!!” Alya membekap mulut anak itu dengan muka kesal setengah mati.
“Hmmmph … hmmph … hahaha … hmmmpphh …,” Julie berusaha melepaskan tangan Alya yang membekapnya dengan sadis.
“Aku nyesel cerita sama kamu!” Alya manyun.
“Hehehe, maap … maap … aku kelepasan. Huahahahaha, sori kelepasan lagi …,” Julie berusaha keras untuk menghentikan tawanya.
“Apanya yang lucu?” Alya berkacak pinggang.
Julie menarik napas dalam-dalam, lalu menunjuk muka Alya. “Kamu itu yang lucu!”
“Ha?”
“Katakan padaku, apa yang membuatmu tertarik dengan Jesta? Yak ampun! KAMU BENERAN SUKA SAMA JESTA??!! HUAHAHAHAHAHAHAHAHA!!” Lagi-lagi tawanya meledak.
Alya manyun.
“Aku bener-bener nggak nyangka! Cewek jadi-jadian kayak kamu bisa naksir sama cowok selembut dia? HAHAHAHAHA!”
“Wajar lah, kan aku manusia.”
“Tapi menurutku itu nggak wajar, hahaha!”
“Julieeeee!! Bisa berhenti ketawa nggak sih?”
“Ops … sori … sori.”
Alya manyun lagi. Sudah diduga, semua orang pasti akan ngakak berguling-guling begitu tahu bahwa Alya menyukai laki-laki seperti Jesta.
“Kupikir kau akan menyukai anak band metal, geng motor, atau apalah itu. Tapi ternyata … hahaha! Muka sangar tapi hatimu kayak lilin meleleh, hahaha!”
“Sialaaaaannn!!!”
Alya membiarkan Julie terpingkal-pingkal di depannya. Setidaknya dia sekarang lega karena sudah mencurahkan isi hatinya pada salah satu sahabatnya itu.
“Pantas saja kau suka sekali meminjam bukuku yang kupinjam dari Jesta, ternyata kau ... hahaha!”
Alya mau tak mau ikutan tersenyum. Dia memang sering meminjam buku Julie yang tak lain adalah buku Jesta. Dia suka melihat tulisan tangan Jesta yang tampak rapi untuk ukuran laki-laki. Dia masih ingat, dia pernah menemukan biodata Jesta di lembar terakhir buku paket bahasa inggris. Dan dia saat itu sangat kegirangan, bagaikan menemukan harta karun di hutan amazon.
***

“Alya …!! Sini!” Julie menghampirinya dengan napas ngos-ngosan.
“Ada apa?” Alya baru saja keluar dar Lab. Biologi.
Julie tak menjawab, tapi langsung menyeretnya ke depan kelas 3A.
“Arah jam 3!” bisik Julie.
Alya lalu menoleh. Matanya terbelalak lebar. Tak jauh darinya, tampak sesosok laki-laki yang setahun ini menghilang dari penglihatannya. Laki-laki itu tengah berbincang-bincang dengan salah satu guru di depan kantor. Ada yang berbeda dengan penampilan laki-laki itu. Dia memakai seragam putih abu-abu berlapis jaket berwarna hitam.
“Kak Jesta …,” bisik Alya pelan.
Saat itulah, Jesta menoleh ke arahnya dan mendapati dirinya tersenyum ramah seperti biasa. Alya terpaku di tempat selama beberapa detik. Sebelum jantungnya jatuh ke tanah, Alya buru-buru masuk ke dalam kelas dan menyembunyikan mukanya di balik tas. Malu.
“Hahahaha! Kalau begini kamu kelihatan kayak cewek beneran!” Julie terpingkal-pingkal.
Alya tak mempedulikan Julie. Mukanya masih memerah.
“Julie,” panggil Alya.
“Kenapa?”
“Terima kasih …,”
“Ha? Untuk apa?”
Alya hanya tersenyum penuh arti.

***
Tiga tahun berlalu sudah. Dan perasaan itu masih belum pergi dari hatinya. Alya mencurahkan isi hatinya dalam buku diary. Ya, memang hanya itu yang bisa dilakukannya. Menyukai Jesta dalam diam.

Jogja, Selasa 4 Desember 2012. Pukul 00.58 WIB.

This entry was posted on Senin, 03 Desember 2012. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply