Sudah Lima Tahun (Edisi Pra-MOS)



            2008.
            -Perdebatan Sengit-

            “Pokoknya nggak mau!!” aku berteriak kencang sambil membanting pintu kamar.
         “Lha memangnya kenapa? Kamu kan SMP-nya sudah di SMP Islam, jadi SMA-nya ya yang basisnya islam sekalian. Biar ilmunya nggak hanya ilmu umum,” Ayah terheran-heran.
            “Nggak! Pokoknya aku mau sekolah di SMA Chandradimuka!” teriakku lagi.
            “Ya wis tho ya, nggak usah marah-marah. Ayah dan Ibu kan cuma menyarankan saja. Nduk, SMA Chandradimuka itu bukan SMA ecek-ecek lho. Susah masuk sana, banyak saingannya …bla … bla …,” Ayah masih mencerocos panjang lebar.
            Aku tahu maksud pembicaraan itu. Mereka meragukan kemampuan otakku -_-
            “Ayah nggak percaya?”
           “Gimana mau percaya kalo nilai UAN kamu jeblok? Sudah, pokoknya mulai besok HP kamu disita!”
            Aku manyun. Nah kan, malah dihukum! -_-
            “Ayo taruhan, Yah!” Aku keluar dari kamar sambil meleletkan lidah ke Ayahku.
            “Ha?”
            “Aku mau sekolah di SMA-nya Ayah kalo aku nggak lolos tes masuk SMA Chandradimuka. Tapi kalo aku lolos …,” aku memicingkan mata, “Aku harus disekolahin di situ! Nggak bisa nggak!”
            “Oke, buktikan saja kalau bisa!” kata Ayah.
            Aku lalu masuk ke dalam kamar sambil manyun. Umumnya orang tua akan mendukung anaknya, tapi tidak dengan orang tuaku. Mereka meragukan kemampuanku untuk menaklukkan SMA Chandradimuka, dan menyuruhku untuk sekolah di SMA tempat Ayah mengajar yang basisnya sama dengan SMP-ku dulu, SMP Muhammadiyah 06.
            SMA Chandradimuka adalah salah satu sekolah yang paling bergengsi di kotaku. Isinya anak-anak pinter semua. Tidak mudah untuk menembus sekolah elit itu. Dan Ayah benar-benar meragukan kemampuanku. Apakah aku terlalu bodoh? -_-
            Sebagian besar teman-temanku terobsesi dengan SMA itu karena gengsinya yang tinggi, tapi tidak denganku. Aku terobsesi masuk sekolah itu karena … yah, karena wajah itu. Wajah yang tiga tahun terakhir ini tidak bisa pergi dari hidupku. Jesta Darmawan. Anak pintar itu berhasil masuk SMA Chandradimuka karena kemampuan otaknya yang diatas rata-rata.
            Aku rindu dengan wajah teduh itu. Aku ingin melihatnya lagi. Melihat aktivitasnya sehari-hari. Melihatnya lebih lama ….
            “Aku harus bisa!!!” teriakku sembari membuka buku-buku pelajaran. Apa pun yang terjadi, aku harus lolos!


            -Pengumuman-

            Pagi itu, SMA Chandradimuka tampak sangat ramai. Ratusan anak berseragam biru putih berdesak-desakan di depan papan pengumuman. Beberapa penjual koran berseliweran, menjajakan koran yang memuat pengumuman hasil penerimaan murid baru di SMA Negeri. Aku baru saja turun dari motor ketika Yanuar berteriak keras dari pinggir jalan.
            “ALYA ….!!! SINI!” teriaknya.
            Aku mendekatinya dengan gugup. Ya Tuhan, bagaimana hasilnya?
            “Bagaimana?” tanyaku.
            Yanuar menggeleng pelan. “Aku enggak lolos, Al …”
            “HAAAA??!” Aku melotot. Bagaimana mungkin? Yanuar adalah salah satu murid berprestasi di sekolahku. Kalau dia saja tidak lolos, bagaimana denganku?
            “Aku juga enggak, Al …,” Sandi menghampiriku dengan lemas.
            Wajahku pucat pasi.
            “Ini kalo kamu mau lihat,” Naka menyodorkan koran ke tanganku.
            Aku menggeleng lemah. “Kalian bertiga yang sering ikut lomba aja nggak lolos, apalagi aku?”
            Baru saja Naka akan membuka mulut, Lala dan beberapa teman cewek menghampiriku dengan napas ngos-ngosan.
            “KOK KAMU BISA LOLOS SIH, AL?!” todong Lala tanpa perasaan.
            Aku melongo. “Ap … apa?”
            “Nih, kamu lolos! Kok bisa, sih? Padahal kan waktu itu kamu ketiduran di kelas pas ujian! Kamu pake susuk, ya?” Fitri menyodorkan koran ke arahku, menunjukkan namaku diantara ratusan nama lainnya.
            “HAH?!” Aku melotot. Aku … lolos?!
            “Mustahil banget, ya?” Lala garuk-garuk kepala.
            Aku manyun. Kenapa tak ada satu pun yang mengucapkan selamat padaku? -_-
            Aku memandangi koran itu dengan hati buncah. Ya Tuhan, aku lolos! Ini benar-benar ajaib! Sungguh!
            “Siapa aja yang lolos?” tanyaku berusaha tenang.
            “Cuman 4 orang, Al. Kamu, Fahma, Wulan, sama Julie. Lainnya enggak lolos …,” kata Sandi.
            Aku memandang cowok gendut itu dengan tatapan tak percaya. “SERIUS?!”
            Oh, Astaga! Sepertinya aku benar-benar beruntung. Bagaimana tidak? Fahma adalah temanku yang superpinter, sering juara kelas dan bersaing dengan Wulan. Julie juga tak pernah absen dari 3 besar. Lalu, aku? Masuk 10 besar saja merupakan anugerah -_-
            Kami duduk di bawah pohon mangga sambil berbincang ringan. Raut kesedihan teman-teman masih tampak, namun mereka tidak menyerah begitu saja. Sandi akan melanjutkan sekolah di SMA Bima Sakti, Naka di Gontor, Lala dan kawan-kawan di SMK Muhammadiyah 3, dan sisanya akan melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah 02.
            Aku memegang koran di tanganku erat-erat. Senyumku tak bisa berhenti terbit. Sementara itu, Julie yang duduk di sampingku tersenyum penuh arti.
            “Alya!” Julie menyenggol lenganku.
            “Apa?”
            “Sssttt … perhatikan arah jam 9!” bisik Julie.
            Aku lalu menoleh ke kiri. Dan seketika itu pula jantungku berdetak sangat keras. Kira-kira 10 meter dari tempatku, tampak seorang laki-laki memakai jaket hitam tengah tertawa dengan beberapa temannya. Tawanya begitu lepas. Entah sudah berapa lama aku tak melihat tawa itu. Jesta ….
            Drrrt … drrrt … drrrtt …
            Ponselku bergetar. Aku segera meraih ponsel dari saku seragamku. Ada sebuah sms masuk.
            Hai, Salsa! Gimana hasil ujiannya? :)

            Aku hampir berteriak ketika membaca sms itu. Sms dari Jesta! Tangannya langsung sigap mengetik sms balasan.

            Alhamdulillah, aku lolos di SMA Jenewa :)
            Terima kasih atas doanya ….

            Dari kejauhan, tampak Jesta tengah mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Senyumnya mengembang begitu melihat sesuatu di ponselnya. Tangannya tampak mengetik sebuah sms. Aku memandang Jesta sambil tersenyum. Beberapa menit kemudian, ponselku kembali bergetar.

            Alhamdulillah … Selamat ya, Salsa! :)

            Aku tersenyum senang. Rasanya dadaku akan meledak!
            “Cieeee, yang lagi seneng ketemu Jesta!” bisik Julie jahil.
            Aku diam tak menanggapi.

***
            Sehari sebelumnya.

            “Julie, pinjam ponselmu sebentar! Ayahku mau menelepon, tapi ponselku mati!” kataku saat berkumpul di rumah Nisa.
            Julie yang tengah asyik mengupas buah hanya menunjuk tasnya yang tergeletak di atas kursi. “Ambil aja di situ!”
            Aku segera merogoh ponsel di tasnya. Ketika tanganku membuka daftar nomor, mulutku tercekat. Ada sebuah nama tak asing yang bertengger di sana. Jesta. Tanpa pikir panjang, aku segera mencatat nomor itu di buku.
            “Kamu ngapain, Al? Katanya Ayahmu mau nelepon?” Nisa terheran-heran melihatku yang asyik sendiri.
            “Eh, enggak jadi,” kataku sembari menaruh ponsel Julie di atas meja.
            Beberapa menit kemudian, aku pamit pulang dengan berbagai alasan. Aku sudah tak sabar ingin mengutak-atik nomor itu. Sesampainya di rumah tante, aku segera meloncat ke kamar.
            “Kak Ayumiiiiii!!” aku berteriak kegirangan.
            “Ada apa?” Kak Ayumi yang tengah asyik membaca novel hanya memandangku penuh keheranan.
            “Aku harus bagaimanaaaa?? Oh astaga, aku bingung setengah mati!” aku berputar-putar di dalam kamar.
            “Bagaimana apanya?”
            “Aku … aku abis dapet nomornya Kak Jesta …,” bisikku.
            “HA? KOK BISA?” Kak Ayumi terbelalak. Dia sudah tahu kalau aku menyukai Jesta, dan tentu saja tanggapannya sama seperti Julie. Ngakak guling-guling.
            “Aku nyolong dari ponselnya Julie,” kataku jujur.
            “Hahaha, dasar! Ya udah gih, sms sana!”
            “Sms gimana?” wajahku tampak frustrasi.
            “Ya ajak kenalan kek, atau gimana gitu …,” kata Kak Ayumi.
            “Aduh, aku bingung!”
            Satu jam aku hanya memandangi nomor itu dengan bingung. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku menggit bibir.
            Setelah sekian lama berpikir, akhirnya tanganku meraih ponsel. Panas dingin tanganku memencet keypad. Sebuah ide konyol tiba-tiba saja melintas di kepalaku.

            Om Darma, cepat ke rumah sakit. Tante melahirkan.

            Send!
            Aku jumpalitan di atas kasur. 15 menit berlalu, namun tak ada balasan sama sekali. Apakah ideku terlalu bodoh?
            “Kak Ayumiiiii, smsku nggak dibales coba!” teriakku.
            “Memangnya kamu sms apa?” tanyanya.
            Aku lalu menyodorkan ponselku kepadanya. Wajah Kak Ayumi langsung berubah.
            “Apa nggak ada ide lain?” Kak Ayumi geleng-geleng.
            Aku manyun, lalu merebahkan badanku di samping Kak Ayumi. Sungguh, menanti sms balasan dari Jesta bagaikan menunggu jemuran kering di musim hujan!
            Drrt .. drrrt …
            Ponselku kembali bergetar. Dengan malas aku meraihnya.
           
            Maaf, ini siapa?

            Aku melonjak kaget. Mataku mengerjap-ngerjap karena tak percaya.
            “Yaiiiiy, dibalaaaas!” aku berteriak-teriak senang.

            Lho, ini Om Darma kan?

            Send!
            Namaku memang Darma. Tapi aku bukan Om. Ini siapa, sih? Salah sambung kali.

            Aku semakin jahil.
           
            Oh, maaf, kukira ini nomor Om Darma. Maaf2 … :(

            Lima menit kemudian …

            Iya nggak papa. Btw ini siapa? Knp namanya bisa sama kek namaku?

            Aku tersenyum. Yes! Akhirnyaaaaaa, kau masuk ke dalam perangkapku!

            Aku Salsa. Maaf ya … aku nggak tahu.

            Satu menit kemudian …

            Ok no problem. Salam kenal Salsa :)

            “YAAAAAAAAAAAAAAIY!!” Aku meloncat-loncat gembira.
            “Kamu kenapa, sih?” tanya Kak Ayumi.
            “Smsku dibalas!”
            Kak Ayumi langsung meraih ponselku. Keningnya berkerut. “Kamu nyamar?”
            Aku mengangguk. “Aku malu kalo ngaku siapa aku sebenernya.”
            “Ya, tapi memberikan identitas asli itu lebih baik, Al. Jangan terlalu lama nyamarnya, ya. Takutnya nanti terjadi sesuatu yang nggak kamu inginkan,” kata Kak Ayumi.
            “Maksudnya?” aku tak paham.
            “Yah, kamu pikirin aja sendiri,” Kak Ayumi tersenyum, lalu keluar dari kamarku.
            Apa maksudnya? Batinku bertanya-tanya. Ah, bodo amat. Aku lalu kembali fokus pada ponselku. Darma mulai bertanya-tanya asal-usulku, dan mau tak mau aku menutupi kebohongan yang satu dengan kebohongan lainnya. Ketika dia bertanya di mana aku sekolah, kujawab bahwa aku sedang menunggu pengumuman tes di SMA Jenewa. Dan sejak saat itulah, penyamaranku dimulai …

This entry was posted on Rabu, 05 Desember 2012. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

2 Responses to “Sudah Lima Tahun (Edisi Pra-MOS) ”