5 Tahun Per Second



            Judul ini terinspirasi dari anime ‘5 cm per second’ dan berdasarkan usulan teman. Rada nggak nyambung sih, hahaha :D

           
            Juni 2006.

            Ini adalah hari pertamanya melepas seragam merah putih, lalu menggantinya dengan seragam biru putih. Ya, dia sudah resmi menjadi anak SMP.
            “Ayo masuk! Kau sudah terlambat!” ajak Kak Ayumi setelah kami turun dari motor.
            Alya mengangguk. Kak Ayumi adalah sepupunya. Dia sekarang duduk di kelas 2 SMP. Sambil berjalan pelan, Alya mengamati bangunan SMP Muhammadiyah 06 yang tampak sederhana namun terawat. Sesekali tangannya menggaruk-garuk kerudung, kegerahan karena dia tidak terbiasa berkerudung. Dia tak pernah bermimpi untuk masuk sekolah berbabis agama, tapi karena keluarga besarnya yang religius ‘memaksa’ semua keturunannya untuk mengenyam sekolah berbasis agama, dia tak bisa mengelak. Impiannya untuk masuk ke SMP Negeri pun pupus di tengah jalan.
            “Kak, apakah nanti aku bisa betah bersekolah di sini? Katanya aturannya ketat banget!” tanya Alya.
            “Lama-lama nanti juga terbiasa,” kata Kak Ayumi sambil tersenyum.
            Dia lalu menggandeng tangan Alya ke ruang sekretariat. Di ruangan itu, ada banyak anak-anak OSIS yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Alya menangkap sesosok laki-laki tengah menghadap komputer dengan wajah serius. Dia terus mengamatinya sampai Kak Ayumi berteriak kencang.

            “Jesta! Sini kamu!” panggil Kak Ayumi.
            Laki-laki yang tengah mengetik itu menoleh. Oh, jadi namanya Jesta.
            “Ada apa?” tanyanya.
            “Aku titip adikku bisa nggak? Aku mau menemui Bu Retno dulu!” kata Kak Ayumi.
            Jesta mengangguk. “Oke.”
            Kak Ayumi lalu meninggalkan Alya. Jesta menghampirinya sambil tersenyum ramah.
            “Namamu siapa, Dik?”
            “Alya Salsabila, Kak.”
            “Sudah pegang co-card?”
            Alya menggeleng.
            “Tunggu bentar, ya. Aku carikan dulu,” katanya sambil mengaduk-aduk laci. Dia mengeluarkan sebuah co-card, lalu menyerahkannya kepada Alya.
            “Co-card ini harus dipake sampe MOS berakhir, ya. Jangan sampai hilang,” kata Jesta.
            Alya mengangguk sambil mengalungi co-cardnya.
            “Ayo kuantar ke kelas,” katanya sambil berjalan melewati pintu.
Alya mengikutinya dari belakang. Dia menatap punggung di depannya dalam diam. Kakinya baru saja menginjak lantai keramik ketika sebuah suara memanggil Jesta.
“JESTA!”
Jesta menoleh. Seorang laki-laki berperawakan besar menghampiri mereka dengan napas ngos-ngosan.
“Cepat ke sekretariat! Ada sedikit masalah!” kata laki-laki itu.
Jesta kemudian menoleh ke arah Alya. “Enggak papa kan kalo kutinggal? Kamu ditempatin di kelas 1B. Kamu jalan lurus aja, trus belok kiri. Nanti ada Kakak-kakak yang lain di sana. Kamu bisa tanya ke mereka.”
Alya mengangguk. “Iya. Terima kasih, Kak.”
“Sama-sama,” kata Jesta sambil tersenyum.
Alya tergeragap, lalu beranjak pergi. Hari itu, untuk pertama kalinya Alya merasakan sesuatu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sebuah perasaan yang aneh dan tidak bisa dideskripsikan. Ada apa dengannya?
***
“Perkenalkan, nama saya Jesta Darmawan. Kalian bisa memanggil saya Jesta,” kata Jesta ketika memperkenalkan diri di depan kelas.
Hari pertama MOS diisi dengan perkenalan seluruh panitia dan murid baru. Ketika laki-laki itu tengah memperkenalkan diri, entah mengapa mata Alya tak bisa lepas darinya. Dari caranya memperkenalkan diri, Alya bisa menyimpulkan bahwa laki-laki itu murah senyum. Dan mau tak mau, senyum itulah yang membuat dadanya terasa aneh sejak tadi. Berdebum-debum tak karuan. Kenapa?
Alya meraba jantunnya yang berdetak lebih keras dari biasanya. Ada apa ini? Gadis 12 tahun itu terheran-heran dengan getaran itu. Apakah dia sakit? Haruskah dia pergi ke Dokter untuk memeriksakan jantungnya? Tidak, ini tidak mungkin. Mana ada rasa sakit yang terasa menyenangkan seperti ini?
“Hei, ada apa denganku?” Alya merutuk dalam hati.
“Alya! Ayo keluar!” ajak Tika sambil meraih tanganku.
“Eh, ada apa?”
“Ada pengenalan lingkungan sekolah. Emang dari tadi kamu nggak dengerin?”
Alya menggeleng. Ya Tuhan, ternyata sedari tadi dia melamun! -_-

***

Hari kedua MOS.

Tak ada yang spesial hari ini. Acaranya masih membosankan seperti kemarin. Hanya duduk diam di kelas sambil mendengarkan materi dari Bapak dan Ibu Guru. Setelah bel berbunyi, semua murid serempak mengeluarkan Al-Qur’an dari tas masing-masing. Hari ini ada tes membaca Al-Qur’an. Selain mendapatkan materi keagamaan disamping materi umum, sekolah ini juga mewajibkan seluruh siswanya untuk shalat Duha dan membaca Al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai.
“Alya Salsabila!” panggil Kak Novi.
Ok, sekarang giliran Alya. Sambil menggenggam Al-Qur’an di tangannya, Alya menghampiri Kak Novi.
“Silakan duduk di meja yang itu, Dik,” kata Kak Novi sambil menunjuk salah satu meja diantara sekian banyak meja yang berjajar. Alya mengangguk, lalu menghampiri meja tersebut.
“Silakan duduk, Dik,” kata Kak Retno.
Alya lalu duduk. Dia baru saja akan membuka Al-Qur’an ketika seorang panitia menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Setelah membisikkan sesuatu, Kak Retno segera menyingkir dari tempat itu.
“Aku ada urusan sebentar, Dik. Kamu tunggu di sini dulu,” kata Kak Retno terburu-buru.
Alya mengangguk, lalu iseng-iseng membuka Al-Qur’an di tangannya. Mulutnya baru saja akan membaca ta’awudz ketika dia mendengar derap langkah menghampirinya.
“Untuk sementara saya yang akan menggantikan Kak Retno. Bisa dimulai, Dik?” kata seseorang yang kini duduk menghadap dirinya.
Alya mendongak dan mendapati jantungnya kembali berdetak sangat keras. Jesta! Makhluk itu kini ada di hadapannya dan tengah tersenyum tipis. Alya merasakan ada aliran darah yang mengalir ke wajahnya. Panas. Wajahnya memerah.
“Tolong buka surah Al-Baqarah, ya …,” tambah Jesta sambil membuka Al-Qur’an, bersiap-siap menyimak.
Alya mengangguk. Setelah memastikan bahwa jantungnya telah berdetak normal, dia lalu mulai membaca dengan suara pelan. Tangannya terasa panas dingin.
“HEI, BISA DIAM NGGAK?!” teriak Jesta.
Mulut Alya langsung terkatup rapat. Dia menatap wajah Jesta dengan takut-takut. Apa yang salah dengan dirinya? Wajah Jesta tampak merah padam. Matanya lurus menatap puluhan murid baru yang ramai sendiri di belakang sana.
Oh, ternyata Jesta tidak marah kepadanya. Alya menghembuskan napas lega.
“Maaf bikin kaget, Dik. Silakan dilanjutkan,” kata Jesta dengan senyum khasnya itu.
Alya lalu menggerak-gerakkan mulutnya perlahan. Matanya memang menatap lurus barisan ayat-ayat itu, mulutnya memang lancar membaca, tapi dia tahu … bahwa pikirannya tidak ada di sana.

***

Akhir pekan…

Mabit adalah acara terakhir dari rangkaian MOS di SMP Muhammadiyah 06. Setiap murid baru wajib mengikuti acara superpadat ini. Bayangkan saja, sepanjang hari diisi dengan materi di kelas dan sesekali ice breaking. Alya menggeletakkan kepalanya di atas meja ketika Pak Maqin tengah menyampaikan materi kemuhammadiyahan. Dia mengantuk sekali!
Tepat pukul 2 malam, seluruh peserta dibangunkan untuk mengikuti jelajah malam. Wajah panitia yang tampak ramah itu tiba-tiba berubah sangar. Pasti dikerjain, pikir Alya. Dan benar saja, semua murid baru dibariskan di lapangan sekolah sebelum melewati pos demi pos. Di setiap pos, semua peserta diuji mentalnya. Seluruh materi yang diberikan saat MOS ditanyakan kembali, mulai dari materi keislaman sampai materi keorganisasian.
Alya melewati semua pos dengan lancar. Untunglah otaknya masih mampu mengingat materi-materi itu. Namun, semua itu berubah saat memasuki pos puncak. Di sana, semua murid baru berkumpul dengan mengelilingi api unggun. Oh, ternyata ada renungan malam.
Kak Farid, panitia yang paling senior mengisi acara itu dengan sangat serius. Semua diam mendengarkan. Tak ada satu anak pun yang berani menyelanya. Ketika Kak Farid menyampaikan tentang wajibnya berbakti kepada orang tua, mengingatkan kembali tentang semua dosa yang kita lakukan, menanyakan apakah kita sudah mampu membalas pengorbanan mereka, semua anak menangis. Suasana super melankolis itu terjadi begitu saja.
Saat itulah, Alya melihat pemandangan itu. Seorang laki-laki yang menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan butiran air mata yang membanjiri pipinya. Jesta …
Alya terpaku. Matanya tak bisa berhenti menatapnya. Entah mengapa hatinya kembali berdebum-debum. Nyeri sekali melihatnya menangis seperti itu. Ya, ini memang pertama kalinya dia melihat Jesta tampak begitu terluka. Ada apa dengannya?
“Kasihan Kak Jesta …,” bisik Julie yang duduk di samping Alya. Rupanya sejak tadi dia juga melihat Jesta.
Alya menoleh ke arahnya. “Kenapa?”
“Dia pasti teringat Ayahnya …,” bisik Julie.
“Memangnya Ayahnya pergi ke mana?” kening Alya berkerut.
“Ayahnya meninggal ketika dia lulus SD. Kecelakaan.” Kata Julie lagi.
“Benarkah?” Alya mengerjapkan matanya. Kaget sekaligus sedih.
“Ya. Sejak saat itu, dia bercita-cita untuk menjadi seorang Dokter. Dia ingin bisa menyembuhkan orang yang sakit di saat-saat kritis,” kata Julie.
“Kau tahu sampai sejauh itu?” Alis Alya terangkat. Heran.
“Tentu saja. Aku kan sepupunya,” kata Julie.
            Alya membulatkan mulutnya. “Oh, begitu …”
          Matanya kembali beralih ke arah Jesta. Laki-laki itu masih menangis sesenggukan. Dada Alya kembali terasa nyeri. Dia tak tahan melihat air mata itu. Dan tiba-tiba saja dia teringat kedua orang tuanya di rumah. Dia pun mensyukuri keadaan dirinya yang masih memiliki orang tua lengkap.
            Alya Salsabila. Gadis yang masih berumur 12 tahun itu perlahan mulai menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Dia tahu mengapa seminggu terakhir ini jantungnya berdetak dua kali lebih keras saat melihat laki-laki itu. Tapi gadis kecil itu sepertinya tak mau mengakuinya. Dia masih terlalu kecil, bukan?
            “Apakah aku … jatuh cinta?” tanya hatinya.
          Alya menggelengkan kepalanya keras-keras, berusaha mengenyahkan pikiran konyol itu dari otaknya. Matanya lalu beralih ke api unggun yang masih menyala terang. Dia menendang perasaan aneh itu jauh-jauh.

Jogja, 3 Desember 2012. Pukul 12.48 WIB.

This entry was posted on Minggu, 02 Desember 2012. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply