Satu-satunya
hal yang ada dalam pikiranku ketika Mas Pencit menghilang adalah ucapan mas-mas
gondrong pas ngasih petuah. Biasanya para
pendaki suka lupa diri kalau turun dari puncak. Saking senengnya main perosotan
sampai ga fokus sama medan, tahu-tahu udah nyasar aja. Dulu pernah ada yang
nyasar, pas ngelewatin area Blank 75 dia nggak fokus, dikiranya jalan lurus
padahal ngarah ke kanan. Sampai akhirnya dia jatoh di jurang sebelah kanan itu.
Dua hari dia bertahan tanpa bekal apa pun. Dan anehnya, pas tim SAR nyari ke
sana, dia nggak ada. Kalian tahu dia ke mana? Dia tiba-tiba aja pindah ke
sekitaran jurang sebelah kiri. Percaya nggak percaya, ada yang mbopong dia ke sana.
Dan
sekarang, aku sedang turun, sendirian! Aku bergidik sendiri. Baru kali ini aku
berada di gunung sendirian, tanpa melihat manusia satu ekor pun. Rasanya … hmm,
jangan kautanyakan. Pada sebuah turunan, kuhentikan langkahku. Perutku bergolak
kian beringas. Kebelet pipis, sudah tak tahan lagi! Duh, pipis, nggak, ya? Mana
nggak bawa tisu basah lagi! Bingung melanda seketika. Kutengok ke belakang,
jelas nggak ada orang. Kanan-kiriku pun kosong melompong. Tempat ini terlalu
terbuka. Gimana kalau ada penunggunya? Gimana kalau penunggunya nggak suka sama
aku?
Alamaaaaak!
Tapi aku sudah tak tahan lagi. Kalau aku tetap maksain turun dengan beban yang
sudah di ‘ujung’, bisa-bisa aku ngompol. Oh, tidak. Baiklah. Aku lantas turun
beberapa langkah, mendekati sebuah batu seukuran lemari empat pintu. Sambil
komat-kamit “Maaf, ya … aku sudah nggak tahan. Tolong jangan ganggu, aku nggak
aneh-aneh kok!”, kuselesaikan ritual mendebarkan tersebut. Setelahnya, aku
kembali tolah-toleh. Sedetik kemudian, lariiiii! Ya, aku turun sambil berlari
gegara bergidik.