Aku
menyedot lemon tea setelah puas
membiarkan ribuan caci maki keluar dari mulutku—terkadang disertai isakan
kecil. Lelaki di hadapanku tidak mengatakan apa pun. Dia tahu, yang kuinginkan
saat ini hanyalah didengarkan. Sepuluh menit berlalu dalam hening.
“Aku ingin menyerah,” ucapku lirih.
“Kamu sudah berkali-kali mengatakan
hal itu,” balasnya sembari tersenyum kecil.
Aku memberengut. “Tapi ini sudah
keterlaluan, Ken! Memangnya dia pikir aku ini apa? Terminal bus yang cuma
dijadikan tempat persinggahan sementara?”
Ken ngakak. “Terminal bus. Hahaha!”
“Nggak lucu!” aku melempar sedotan
ke arahnya. Ken berkelit sembari tertawa. Huh, dia memang selalu seperti itu. Menertawakan
hal-hal yang sama sekali tidak patut ditertawakan!
“Aku sudah lelah, Ken. Aku
benar-benar ingin menutup pintu!”
Ken menghentikan tawanya. Karibku
itu sontak menatapku tak setuju. “Jangan terburu-buru menutup pintu. Kalau
tiba-tiba ada yang mengetuk dan serius ingin tinggal, apakah akan kamu abaikan
begitu saja?”
“Hahaha! Memangnya siapa yang mau
tinggal? Kamu?” aku mencibir.
“Iya.”
Mataku melotot seakan mau jatuh ke
lantai. Terkejut.
“Sedari dulu aku ingin mengetuk
pintumu, tapi aku tahu kamu sedang menerima tamu. Brengseknya, dia pergi tanpa
pamit dan kamu nggak tahu kapan dia kembali.”
“….”
“Jika dia hanya sekadar singgah, aku
ingin tinggal—jika kamu mengizinkan.”
Aku menatapnya dalam-dalam, mencari
keseriusan. Tak kulihat sedikit pun raut keraguan di wajahnya. Bertahun-tahun
berkarib dengannya, belum pernah kulihat dia seperti itu. Dia melemparkan
tatapan setajam pedang ke mataku. Mendadak aku merasakan getaran aneh di
dadaku.
“Mmm,” aku bergumam sembari
mengalihkan pandangan ke arah lain. “Aku serasa mendengar halilintar di siang
bolong.”
“Ya, anggap saja begitu. Siapa tahu
halilintar itu bisa menyambar pintumu biar bisa kumasuki.”
“Tapi pintuku sudah rusak.”
“Aku bisa memperbaikinya, asalkan
kamu mengizinkan.”
Aku kembali menatapnya. “Ucapanmu
membuatku takut.”
“Tak usah dipikirkan terlalu dalam.
Aku tahu kamu masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Santai saja, aku
akan menunggumu.”
Kali ini, mulutku benar-benar
terkunci rapat. Tiba-tiba saja aku dihadapkan pada dua pilihan yang
membingungkan. Menunggu dia yang tak tentu, atau menyambut yang baru? Entah.
Hatiku belum mampu mencernanya.
Jogja, 20 April 2015.