Jika kamu bertanya siapakah orang yang mencintai dan kucintai dengan tulus, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang selalu menguatkanku dalam situasi dan kondisi apapun, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang selalu berada di garda terdepan untuk mendukung impianku, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang mendekatkanku pada buku, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang mengajarkanku untuk hidup sederhana dan selalu mengutamakan srawung di mana pun kakiku berpijak, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang membentukku menjadi sosok yang kuat dan mandiri, ialah dia.
Jika kamu bertanya siapakah orang yang membebaskanku melihat dunia lebih luas, ialah dia.
Ya, dia. Sesosok lelaki hebat yang aku tak pernah bisa membalas apa pun yang dia berikan padaku. Dan malam ini, tetiba saja rindu itu menderaku. Jadi, izinkan aku berkisah tentangnya. Tentang lelaki yang kucintai sepenuh langit dan bumi...
Orang-orang bilang, kami bagaikan pinang dibelah dua. Hampir semua sifat yang dia miliki menurun padaku. Bahkan fisik kami sekali pun. Garis-garis wajahnya, bentuk bibirnya, matanya, semuanya. Bedanya, aku perempuan, dia laki-laki. Konon, dia sangat menginginkan anak laki-laki. Tetapi takdir memberikannya tiga puteri. Walau begitu, dia tak pernah sekali pun mencela. Dia menyayangi ketiga puterinya sepenuh hati. Kepada puteri pertamanya, dia dan ayahnya memberi nama "Indiana Malia" yang memiliki arti "Harta itu milik saya". Baginya, aku adalah harta yang tak bisa ditukar dengan apapun :')
Tahukah kamu? Terkadang kita ingin kembali ke lorong waktu ketika merindukan momen-momen tertentu. Seperti malam ini. Tetiba saja kerinduan itu menyeruak. Membikin sesak. Tanpa sadar, kami terbentang jarak yang begitu jauh. Semakin ke sini, waktuku bersamanya berkurang sedikit demi sedikit. Puteri pertamanya ini telah mendewasa rupanya. Jauh dari rumah, tempat terbaik untuk berpulang.
Bertahun-tahun lalu, aku begitu dekat dengannya. Sangaaaat dekat. Sebelum dia berangkat mengajar, aku selalu minta jatah jalan-jalan. Pagi-pagi benar dia akan menggendongku, menaruhku di jok depan vespa kesayangannya (yang masih dipakai hingga sekarang),kemudian mengajakku berkeliling kompleks selama lima menit. Selanjutnya, kami dadah-dadahan. Menjelang tengah hari, aku akan menantinya di depan rumah. Menolak makan siang sebelum bertemu dengannya. Ketika deru vespa terdengar dari jauh, cepat-cepat aku menyambutnya. Ah, lebih tepatnya menyambut isi tasnya, hahaha. Pasti adaaa saja yang kutemukan. Entah itu makanan kecil atau buku. Ya, dia mendorongku untuk suka membaca sejak kecil. Mulanya dia memberiku komik yang berisi kisah-kisah nabi. Kemudian, dia mulai mengenalkanku dengan karya Buya Hamka. Sejak saat itu, aku menjadi penggila buku cerita. Aku bahkan pernah mencuri novel Oliver Twist di SD gegara nggak dikasih pinjaman. Hahahaha.
Aku tak pernah bisa tidur tanpa pelukannya. Aku selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Di luar sana, dia dikenal sebagai sosok yang menyeramkan. Keras, galak, tegas, disiplin, tapi humoris sekaligus. Cara mengajarnya yang unik selalu membuat murid-muridnya jatuh hati. Di rumah, sosok galak-nya akan luntur dengan sendirinya. Dia akan menjadi sosok yang penyayang. Menjelang tidur, dia akan mendekapku sembari mendongengkan beragam kisah. Dongeng yang paling kusukai adalah Timun Emas dan si Kancil. Aku paling suka bagian ketika Ibu Timun Emas membuka pintu. Dia selalu menampakkan mimik yang membuatku tertawa-tawa.
Tiap akhir pekan, dia akan mengajakku jalan-jalan. Tepatnya, sih, memancing ikan. Kadang di kali, kadang di laut. Kalau tidak, kami akan menjelajahi hutan. Berkawan dengan alam. Waktu kelas 3 SD, setelah menjelajahi hutan, sampai rumah aku langsung sakit. Badan panas. Demam tinggi. Mungkin aku kelelahan karena menempuh jarak yang cukup jauh. Ibu langsung marah-marah.
"Jangan bawa Lia pergi jauh, lagi!"
Kemudian aku menangis diam-diam....
Tapi dia tetap mengajakku pergi. Katanya, aku harus melihat dunia lebih luas. Mengenal banyak orang di luar sana. Berbeda dengan ibu yang selalu mengkhawatirkanku, dia justru sebaliknya. Dia mengajariku menjadi orang yang berani dan mandiri. Aku mulai kehilangan momen-momen kebersamaan ketika menginjak SMP. Aku mulai tinggal jauh dari rumah. Belajar mandiri, katanya.
Di masa SMP itu lah, kami mulai membentang jarak. Tak ada lagi pelukan, yang ada hanyalah cium tangan. Tak ada lagi dongeng-dongen menjelang tidur. Tak ada lagi kegiatan memancing bersama atau menjelajah hutan. Tak ada lagi momen menunggunya di depan rumah sembari mengobrak-abrik isi tasnya. Tiba-tiba semuanya menghilang. Terlebih sejak aku mulai mengenal perasaan aneh. Ada kupu-kupu yang bermain di dalam perutku. Aku mulai suka menulis di buku diary. Entah berapa banyak puisi yang berhamburan di sana. Hingga suatu hari, dia menemukan buku itu dan membacanya. Sejak saat itu lah dia tahu bahwa gadis kecilnya sedang terserang virus merah muda. Hahaha...
Dan jarak itu kian menjauh seiring bertambahnya usiaku. Teman-temanku makin banyak, dan aku lebih suka menghabiskan waktuku bersama mereka ketimbang berdiam diri di rumah. Ikut ekskul ini-itu, kegiatan ini-itu. Bahkan tak jarang aku menghilang dari rumah karena disibukkan kegiatan ekskul. Tapi dia tak pernah marah. Paling banter, dia akan menasihatiku dan mengingatkan jangan lupa makan dan sholat. Ah...
Tahukah kamu? Dia adalah satu-satunya orang yang mendukungku ketika hampir semua orang meragukan keputusanku untuk meninggalkan Ilmu Komunikasi dan mulai menyelami dunia sastra. Ketika sifat khawatir ibu muncul, dia lah yang meredamnya. Katanya, "Lia tahu apa yang terbaik buatnya. Sejatinya kuliah adalah untuk mereguk ilmu, bukan semata-mata mencari pekerjaan. Biarkan saja dia tumbuh dan berkembang dengan apa yang diyakininya."
Tiga tahun lalu, ketika kondisi perekonomian keluarga sedang merosot tajam, aku dinyatakan lolos SNMPTN Tulis. Jangan tanya berapa banyak biaya yang harus kami keluarkan. Saat itu, rasa-rasanya kuliah hanya sekadar mimpi. Bermacam komentar dan nasihat bermunculan. Intinya, sih, "Nggak usah kuliah jauh-jauh. Lia kan anak perempuan, toh nanti yang nyari kerja juga suaminya. Nggak usah ngoyo". Hingga terjadilah 'sidang' keluarga besar. Ketika yang lain meragukanku, dia dengan lantang mendukungku untuk keluar dari rumah. Merantau ke tempat yang jauh. Bagaimana soal biaya? Katanya, "Rezeki sudah ada yang atur toh?". Kemudian, berangkatlah kami menuju Kota Gudeg. Bersama kakak kelas yang baik hati, aku bolak-balik ke Rektorat untuk menangguhkan biaya dan mencari beasiswa. Beberapa bulan kemudian, kabar baik itu pun datang. Aku mendapatkan dua beasiswa sekaligus. Satu dari pemerintah, satu dari orang tua asuh. Maka, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?
Di Jogja ini lah aku memulai kehidupanku yang baru. Jauh dari rumah. Membentang jarak. Berbekal 'pelajaran' darinya, aku pun belajar mandiri. Mengatur keuangan sedemikian rupa, bekerja sampingan, dan menabung sedikit demi sedikit. Dua tahun kemudian, aku berhasil membeli kendaraan dengan hasil keringatku sendiri. Aku yakin, tanpanya, aku bukanlah apa-apa...
Dia yang selalu mendorongku untuk keluar dari zona nyaman. Dia yang selalu menyemangatiku ketika aku berada dalam titik terendah. Dia yang selalu membebaskanku untuk memilih jalan mana yang harus kutempuh. Dia tak pernah menuntut hal-hal yang tak sesuai dengan kemampuanku.
Dan kini, laki-laki itu tampak menua. Rambutnya yang hitam perlahan-lahan memutih. Di wajahnya mulai tampak guratan-guratan usia. Seketika itu pula, aku ingin memasuki lorong waktu. Kembali ke masa lalu. Ternyata, kami terlalu lama membentang jarak. Hingga aku tak sadar bahwa lelakiku telah banyak berubah. Ke mana saja aku?
Di sini, aku menanam rindu. Untuknya. Untuk lelaki yang biasa kupanggil "Bapak". Untuk lelaki yang berjanji kelak akan menikahkanku tanpa bantuan penghulu, karena dia ingin 'mengikat' pendamping hidupku dengan tangannya sendiri. Untuk lelaki yang tak pernah berkata "aku mencintaimu" tapi aku tahu cintanya padaku tak pernah surut. Untuk lelaki yang entah kapan terakhir kali memelukku karena gadis kecilnya telah dewasa. Untuk lelaki yang entah kapan terakhir kali mendongengiku ....
Dia. Lelaki yang kucintai sepenuh langit dan bumi....
Dalam Kamar,
Kamis, 13 November 2014.
Pukul 02.20 WIB
ya, bapak dan keluarga dirumahlah motivasi dan inspirasi terbaik.. :)
BalasHapus