Puisi Alia ...




            Dua jam sudah berlalu, tapi ekspresi wajah itu masih belum berubah. Terkadang tegang, terkadang gelisah, terkadang takut, terkadang juga senyum-senyum sendiri. Sedari tadi tangan kirinya hanya menopang dagu, sedangkan tangan kanannya asyik mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Tak lama kemudian, kertas itu diremas-remas, lalu dibuang begitu saja. Entah sudah berapa banyak kertas yang berceceran di lantai.
            “Argh!” Alia mengumpat. Dia lalu memutar tempat duduknya, membelakangi meja belajar. Kakinya dihentak-hentakkan ke lantai dengan kesal. Sedetik kemudian, dia beranjak dari tempat duduknya. Berdiri di depan kaca, lalu mengamati dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tingginya sekitar 162 cm dengan berat badan 49 kg. Rambutnya hitam mengkilat, menjuntai hingga pinggang. Kulitnya putih bersih seperti susu. Hidungnya mancung ke dalam alias pesek. Matanya yang sipit di dukung oleh lesung pipit yang indah. Sekilas, gadis itu mirip sekali dengan perawakan orang Cina.
            “Apakah aku cantik?” tanyanya dengan penuh rasa tidak percaya diri. Lalu beberapa detik kemudian dia tersenyum-senyum lagi, nyaris seperti orang gila.
            Akhir-akhir ini Alia memang bersikap aneh. Cewek super cuek itu tiba-tiba saja berubah drastis. Dia sangat jauh dari kesan feminin. Tak pernah terbersit walau satu kali pun di otaknya untuk memakai rok atau pun high heels. Ah, bahkan bedak pun dia tak punya. Dia terbiasa memakai kemeja atau pun kaos oblong, lalu dipadu dengan celana jeans belel. Rambutnya juga selalu diikat sembarangan. Selain itu, dia juga terkenal dengan suaranya yang super kencang, mirip toa masjid.
            Tapi, sepertinya semua itu berubah sejak kejadian di kampus dua bulan yang lalu. Saat itu, Alia terburu-buru ingin ke Bangjo (bangku ijo) kampus yang terletak di belakang perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya. Dia ingin meminjam catatan materi ke Ezti, sahabat dekatnya. Satu jam lagi dia akan mengikuti ujian susulan dan parahnya dia belum belajar sama sekali.
            Brug!
            Seseorang menabraknya ketika dia berbelok. Dia pun nyusruk ke tanah. Baru saja dia akan mengumpat panjang-lebar, sebuah tangan terjulur di depan mukanya. Alia menepis tangan itu dengan kasar, lalu buru-buru membersihkan debu yang menempel di bajunya. Dan ketika dia mendongak, dia melihat seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berwajah asing tengah menatapnya dengan penuh rasa bersalah.
            “Maafkan aku,” kata laki-laki tu. Dia menjulurkan tangannya.
            Alia terpaku. Dia merasakan jantungnya berdetak dua kali lipat lebih keras.
            “Maaf, aku tak sengaja,” tambahnya, dengan aksen bahasa Indonesia yang terdengar aneh.
            “Oh, tidak apa-apa,” Alia tersadar dari lamunannya, lalu menjabat tangan laki-laki itu. Entah sejak kapan dia bisa bersikap semanis itu. Jantungnya masih saja berdetak tak karuan. “Errr...sepertinya kamu bukan orang Indonesia,” kata Alia kemudian.
            Laki-laki itu tersenyum. “Iya, saya memang bukan orang Indonesia. Perkenalkan, nama saya Kazuto, mahasiswa pertukaran dari Jepang.”
            “Namaku Alia. Salam kenal, Kazuto-san!” kata Alia dengan senyum yang tak kalah manisnya.
            “Salam kenal, Alia-chan!”
            Dan sejak itulah, dunianya tak lagi sama. Alia yang super cuek itu mendadak jadi lebih kalem. Penampilannya pun perlahan-lahan berubah. Dia memang tidak memakai rok atau pun high heels, tapi kali ini dia tampak lebih rapi. Memakai baju bermotif bunga-bunga dipadu dengan celana jeans. Rambutnya yang terbiasa diikat itu kini lebih sering dibiarkan terurai.
            Sejak perkenalan itu, Alia dan Kazuto berteman baik. Alia selalu merasa senang saat berada di dekat Kazuto. Entahlah, mahasiswa Jepang itu tampak begitu menarik di matanya. Bukan saja karena Alia menyukai bahasa Jepang dan seluk-beluk kebudayaan Jepang, tapi lebih karena kepribadian Kazuto yang begitu menyenangkan.
            Dan malam ini, Alia benar-benar frustasi memikirkan puisinya yang tak kunjung selesai. Puisi? Ah, iya. Tiga hari yang lalu Kazuto meminta bantuannya untuk membuatkan puisi. Dia mendapatkan tugas dari Dosen untuk membuat puisi bertema bebas. Kazuto yang tidak ahli dalam berpusi pun kebingungan. Saat itulah, Alia datang bagaikan malaikat penolong. Dia bersedia membuatkan puisi untuk Kazuto. Tentu saja Kazuto sangat senang. Padahal, Alia memiliki niat terselubung.
            Alia ingin mengungkapkan sesuatu lewat puisi itu. Dia ingin Kazuto membaca puisi itu, berharap laki-laki itu akan memahami perasaannnya. Dia ingin Kazuto tahu, bahwa kuncup-kuncup Sakura itu mulai bermekaran di hatinya ....

           
Jogja, 9 September 2012.
Pukul 00.12 WIB

This entry was posted on Sabtu, 08 September 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply