Pertemuan




            Aku masih ‘jalan-jalan’ ke Paris ketika suara itu mengagetkanku. Suara yang tak asing lagi. Bel pintu rumahku! Ku tutup mukaku dengan bantal. Sampai mana tadi? Ah, ya, aku tadi sedang menatap menara Eiffel yang memukau. Ku pejamkan mataku rapat-rapat, berharap bisa ‘kembali’ ke tempat menakjubkan itu.
            Tet … Tet … Tet …
            Argh! Suara itu lagi! Siapa pula yang berani-beraninya menggangguku sepagi ini? Semakin ku biarkan, bel pintu rumahku semakin nyaring terdengar. Aku tak tahan lagi. Ku kumpulkan ‘nyawaku’ selama beberapa menit, lalu beranjak dari tempat tidurku yang nyaman ini.  Ku buka pintu kamarku dengan malas, celingukan ketika tidak mendapati satu manusia pun di rumah ini. Ah, ya, aku baru ingat. Mama dan Papa ada acara penting hari ini.
            Tet … Tet … Tet …
            Hei! Bisakah kau bersabar sebentar, wahai manusia yang sedang memencet bel? Aku benar-benar kesal. Terhuyung-huyung aku berjalan ke ruang tamu. Sambil menguap lebar, aku memutar gagang pintu. Cklek!
            “Selamat pagi, Alia-chan …,” sapa seseorang yang kini berdiri di hadapanku.
            Aku yang saat itu tengah menguap lebar tak sanggup menahan keterkejutanku. Mulutku masih menganga saking kagetnya. Tubuhku panas dingin dibuatnya. Jantungku berdetak sangat keras. Ya, Tuhan, benarkah itu dia?
            Ya, dia. Seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berwajah asing yang kini berdiri tegap di hadapanku. Tersenyum kepadaku.
            “Kkk … Kazu …?” mulutku kelu mengucapkan nama itu. Nama yang tersemat di hatiku selama dua tahun terakhir ini. Nama yang selalu ku tunggu setiap waktu.
            “Ya, ini aku, Alia-chan! Maukah kau menemaniku sarapan?” ucapnya lagi. Senyumnya semakin lebar.
            Dadaku membuncah. Benar, itu dia, Kazuto-san yang pergi meninggalkanku setahun yang lalu! Mataku mendadak panas. Sedetik kemudian, aku merasakan tangannya menghapus air mataku yang nyaris terjatuh.
            “Hei, jangan menangis! Ayo, temani aku sarapan!” Kazuto menggandeng tanganku dengan wajah tanpa dosa, lalu membawaku pergi ke sebuah tempat makan langganan kami dulu. Ketika kami sudah duduk dan memesan makanan, aku baru teringat sesuatu. Aku belum sempat mandi, ah jangankan mandi, mencuci muka saja belum! Aku masih mengenakan baju tidurku yang kusut. Rambutku yang panjang juga tampak sangat acak-acakan. Tapi tampaknya Kazuto tak begitu mempedulikan penampilanku ini.
            “Alia-chan …,” Kazuto memanggilku.
            Aku mendongak. Ku lihat binar matanya yang menatapku hangat. Aku membeku. Bayangan setahun yang lalu kembali hinggap di kepalaku. Kazuto adalah mahasiswa pertukaran dari Jepang. Dia belajar bahasa Indonesia di kampusku, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pertemuan pertama kami benar-benar jauh dari kata ‘berkesan’. Dia menabrakku ketika aku berbelok hendak ke Bangjo (bangku ijo). Dan .. yah … sejak itulah, kami berteman. Selama satu tahun aku menemani hari-hari Kazuto, sebelum akhirnya dia kembali ke Jepang. Dan kini, dia ada di depanku.
            “Alia-chan …,” panggil Kazuto lagi. Senyumnya mengembang melihatku yang tampak gugup.
            “Kapan kau pulang? Kenapa tak mengabariku sama sekali?” aku menatapnya dengan terluka. Ya, sejak dia kembali ke negara asalnya, kami kehilangan kontak. Lebih tepatnya, dia yang tidak menghubungiku.
            “Ceritanya panjang, Alia-chan. Nanti akan ku jelaskan. Aku sengaja ke sini untuk mengejutkanmu. Tapi … apakah kau tidak senang dengan kehadiranku?” Kazuto tampak khawatir.
            Aku menggeleng. “Aku senang kau datang …”
            Kazuto kembali tersenyum. Dia merogoh sesuatu dari saku jaketnya, lalu menunjukkannya padaku. Sebuah kertas bertuliskan puisi buatanku. Dulu, dia mendapat tugas membuat puisi. Aku dengan senang hati membantunya, berharap dia bisa membaca perasaanku lewat puisi itu. Ah, ternyata dia masih menyimpannya …

            “Alia-chan …,” Kazuto menggenggam tanganku. Aku diam tak bergerak. Beku.
            “Dulu, aku sama sekali tak memahami isi puisimu. Maafkan aku yang terlambat menyadari. Aku baru bisa mengerti ketika aku sudah kembali ke Jepang. Dan … kau juga harus tahu …”
            Aku menahan napas.
            “Kau harus tahu, Alia-chan. Kuncup-kuncup sakura itu juga bermekaran di hatiku …”

This entry was posted on Minggu, 16 September 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply