MENGEJAR BLUE FIRE
“Aka mau ke Ijen tanggal 14 nanti.”
“Hah? Kok kampret banget nggak
ngasih tau?”
“Hahahaha. Trus agenda kita
bagaimana?”
“Ya sudah lah, Mas, dibarengin aja.
Yakali kamu bolak-balik dua kali.”
Kampret lah, mendadak begini.
Sebelumnya, aku, Mbak Anin, dan Mas Ilham berencana nggembel ke Kawah Ijen.
Bareng Aka juga sih awalnya, tapi mendadak dia nggak bisa dan hell tahu-tahu anak itu bisa pergi tanpa
ngasih tahu aku pula. Dengan agak gondok, aku menghubungi Mbak Anin terkait
rencana nggembel kami. Dan apa yang aku khawatirkan terjadi juga. Mbak Anin
nggak bisa pergi, ditambah dapat mandat dari orang rumah untuk segera pulang.
Tanpa berpikir dua kali, aku segera membeli tiket keberangkatan tanggal 11.
Rencananya sebelum pulang ke rumah aku akan nggembel diam-diam, hoahahaha.
Sesampainya di Jember, aku numpang ngumpet di kos Dila sekalian ngerampok
motornya buat kubawa ke Banyuwangi tanggal 14 nanti. Asli lah, ini agenda super
impulsif di tengah-tengah suasana UAS yang merajalela. Pulang dengan membawa
buku-buku buat garap tugas, dan bodohnya baju-baju yang niatnya mau kupake buat
nggembel malah ketinggalan semua di Jogja. Ah, dasar ceroboh! Ujung-ujungnya
aku ngerampok baju Dila dan Hirma, wakakakaka!
Di hari H, Mas Ilham menjemputku ke
Jember gegara aku buta jalan. Jangankan ke Banyuwangi, di Jember aja aku bisa
ilang entah ke mana. Ya, aku memang punya kelemahan susah mengingat jalan dan
nama orang. Pukul setengah 5 sore, kami berangkat ke Banyuwangi. Hah, lama juga
nggak ke kota itu. Perjalanan berlangsung agak mendebarkan karena melewati
Gumitir yang dipenuhi kendaraan sejenis truk dan bus. Melewati Gumitir bikin keinget jalanan Gunung
Kidul. Meliuk-liuk dan agak seram. Kira-kira pukul 8 malam, kami mampir
sebentar di rumah Mas Ilham buat shalat dan istirahat sejenak sebelum menjemput
Aka yang nggak tau kalau aku ikut di Stasiun Rogojampi. FYI, kami
bertiga ini dulunya teman sekelas di Elfast Pare. Bisa dibilang ini pertemuan
pertama kami setelah program berakhir Februari lalu.
Pukul setengah 9 malam, Aka ngabarin
kalau dia sudah sampai stasiun. Oke, saatnya ngerjain Aka. Mas Ilham
nyembunyiin aku di warung bakso, kemudian jemput Aka. Nanti aku akan pura-pura
marah gegara nggak dikasih tahu. Tapi rencana itu gagal gegara emakku tahu-tahu
nelepon dan Aka keburu datang dengan muka kagetnya. Nggak jadi pura-pura marah.
Jadinya malah sibuk memainkan lakon drama di telepon, hahaha. Setelah makan dan
ngobrol ke sana ke mari, kami pun melanjutkan perjalanan. Untuk menuju kawasan
Kawah Ijen, kami menempuh waktu sekitar dua jam. Jalanan gelap dan lumayan
seram, berasa melewati Gumitir lagi. Sesampainya di lokasi, kami segera
memarkir motor. Malam itu kami hanya melihat sekumpulan anak sedang
genjrang-genjreng gitar sambil nyanyi. Nggak terlalu banyak pengunjungnya.
Berhubung jalur pendakian baru boleh dilewati pukul 12 malam, kami leyeh-leyeh
sejenak. Lagi enak-enaknya duduk, tahu-tahu kami didatangi mas-mas dari
gerombolan yang genjrang-genjreng gitar tadi. Awalnya basa-basi kenalan, tapi
lama-lama dia malah cerita kisah hidupnya dan aku hanya bisa “oh” atau “oya?”
gegara gondok ditinggal Aka dan Mas Ilham. Kamfretos banget mereka berdua
-____-
Kami memulai pendakian sekitar pukul
setengah satu pagi. Untunglah mas-mas tadi segera menyingkir dengan
gerombolannya, hahaha. Oya, ada satu orang yang jalan bareng kami. Namanya Mas
Anton. Untunglah doi nggak annoying
kayak mas-mas sebelumnya, hahaha. Berbekal lampu senter, kami berempat
berjalan menyusuri Ijen. Dua puluh menit pertama, perjalanan terasa ringan
karena jalanannya mendatar. Lurus-lurus saja. Begitu naik, barulah terasa
ngos-ngosannya. Bukan saja karena aku nggak latihan fisik sebelumnya, tapi juga
gegara aku kurang minum. Seharian itu aku palingan cuma minum dua gelas air,
ditambah segelas es teh di warung bakso tadi. Kami pun berhenti di sebuah
gazebo. Mataku berkunang-kunang. Tiba-tiba saja aku keluar keringat dingin.
Seperti ada yang mau keluar dari perut. Gawat. Aku langsung menenggak mizone untuk mengembalikan energi. Ekor
mataku menangkap senyuman tiga laki-laki yang membersamaiku itu. Hahahanjir,
berasa lemah banget -_-
“Kok mukamu pucet, Ndi? Hahaha!”
“Udah, istirahat dulu sebentar.
Nanti malah ambruk.”
“Kakinya ditinggal dulu aja di sini.”
Kuampret, haha. Kami pun melanjutkan
perjalanan dan berpapasan dengan gerombolan bocah tadi. Malam itu bisa dibilang
keberuntungan berpihak pada kami. Kami nekat mendaki di musim hujan yang
derasnya ugal-ugalan. Tetapi malam itu tidak hujan sama sekali. Kami disuguhi
langit bertabur bintang dan cerahnya sinar bulan. Belum lagi kilatan oranye di
kejauhan sana. Masya Allah, aku tidak henti-hentinya bersyukur. Indah banget.
Terakhir kali melihat langit penuh bintang begini pas jalan-jalan sama sasindo
setengah tahun lalu, hiks.
Satu kilometer kemudian, kami aku
berhenti lagi. Kali ini perutku sebelah kanan terasa sakit, seperti
ditusuk-tusuk. Agak heran juga. Biasanya kalau maag-ku sedang kumat, perut
sebelah kiri atau tengah yang sakit. Ini malah yang kanan. Bodohnya lagi,
obatku ketinggalan di dalam tas yang kutitipkan di pos. Aelah, Ndi, cerobohmu
kapan sembuhnya?
“Ya, itu gegara kamu kurang minum,”
kata Mas Anton.
Aku lupa kalau dia anak farmasi.
Pastinya dia lumayan paham masalah beginian. Belum lagi aku masih belum bisa
ngatur napas dengan benar. Teorinya sih ngerti, tapi praktiknya susah.
Hahahaha. Aku pun menarik napas dalam-dalam, kemudian melepaskannya perlahan.
Setelah sakit di perut agak baikan, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa kali
kami bertemu dengan bapak-bapak penambang belerang. Kami nyaris saja kesasar
kalau tidak diteriakin dari atas. Fiuh...
Satu kilometer terakhir, kami
melewati jalanan sempit mendatar dengan jurang menganga di sebelah kanan kami.
Meleng sedikit saja, mungkin kami sudah wassalam. Bau belerang mulai menyengat
hidung. Kami segera memakai masker masing-masing. Tiba-tiba aku deg-degan
campur senang. Oh, Tuhan, aku masih belum bisa percaya kalau aku akhirnya bisa
menginjak tempat ini. Pergi ke Ijen itu tak ubahnya seperti ibu hamil yang lagi
ngidam berat. Ketika mencium bau belerang, rasa lelahku langsung berganti
dengan semangat. Itu artinya sebentar lagi kami mencapai puncak. Entah pergi ke
mana rasa lelah itu, tiba-tiba saja kakiku terasa ringan. Sesampainya di atas, kami
disambut dengan mas-mas cerewet tadi dan dua orang temannya. Saat itu kira-kira
pukul setengah tiga pagi. Kami tidak melihat apapun selain kegelapan.
“Lihat teman-teman kami nggak?”
tanyanya.
“Yang gerombolan tadi?”
Dia mengangguk.
“Wah, masih jauh di belakang, Mas.
Tadi ada cewek yang kakinya kenapa gitu,” jelasku.
“Hah…! Gini nih kalau bawa
cewek-cewek, pasti manja, bla … bla …,” dia ngomel panjang-pendek.
Mukaku langsung berubah. Kampret,
dia nggak sadar kalau lagi ngomong sama cewek juga!
“Eh, tapi beda lah sama mbak ini.
Pasti punya tekad yang kuat!” ralatnya secara tidak langsung.
“Memangnya dia cewek? Hahaha!” sahut
sebuah suara.
Hoh, terserah lah. Aku sudah biasa
dianggap laki-laki yang terperangkap dalam tubuh perempuan -_-
“Lihat Blue Fire, yuk! Sunrise-nya
masih lama. Mo nunggu di sini juga ngapain, gelap gini,” ujar Mas Anton.
Kami yang sama-sama nggak paham
jalan akhirnya turun lagi, melewati belokan yang ‘kayaknya’ tadi dilewatin
bapak-bapak penambang belerang. Beberapa saat kemudian, beberapa anggota dari
gerombolan genjrang-genjreng tadi datang. Semuanya laki-laki. Jadilah aku
perempuan satu-satunya dan aku tidak terlalu peduli juga. Jalanan yang
kami lewati cukup sulit. Mata kami harus awas kalau nggak mau kesandung dan
wassalam. Bebatuan besar di mana-mana. Jalanan yang sempit membuat kami harus
berhenti dan minggir buat ngasih jalan para penambang. Makin ke bawah,
jalanannya makin susah. Pas udah setengah jalan, tahu-tahu kakiku kram.
Yassalam, sakitnya bukan main. Mana kram-nya lama lagi. Selanjutnya, aku mulai
jalan pelan-pelan. Agak khawatir awalnya, jangan-jangan kami salah jalan.
Habisnya lama banget, hahaha.
“Hei, lihat! Itu Blue Fire-nya!”
teriak mas-mas cerewet sembari menunjuk kobaran api biru di kejauhan.
“Wah, iyaaa! Ayo ke sana!” aku
ikutan berteriak.
FYI, Blue Fire ini munculnya nggak
lama. Kata bapak penambang sih, subuh udah hilang. Jadi kalau nggak mau
ketinggalan, kudu cepet-cepet. Ketika Blue Fire sudah di depan mata, kami
berteriak kegirangan, kek habis nemu harta karun gitu, hahaha. Sungguh, Blue
Fire kereeeeeen banget! Orang-orang pada turun buat lihat lebih dekat, tapi aku
ogah. Nggak mau ambil risiko pingsan gegara mencium asap belerang. Akhirnya
aku, Mas Ilham, dan Aka duduk-duduk sambil lihat Blue Fire. Kalau di foto, sih,
nggak terlalu bagus. Sudahlah, bisa melihatnya di depan mata sudah membuatku
senang. Sumpaaaah, rasanya kayak mimpi aja! Hahaha!
Setelah foto-foto dan ngobrol ke
sana ke mari, kami balik ke atas. Kami sempat dihantam kabut tebal dan sontak
kami tiarap. Njir, serem amat. Nah, pas jalan ke atasnya ini ngos-ngosan
banget, haha. Beberapa kali kami berhenti untuk istirahat. Begitu sampai atas,
kami langsung tepar di atas bebatuan. Tapi tetep aja aku nggak bisa tidur.
Dinginnya minta ampun. Aku emang nggak bisa tidur nyenyak kalau terlalu dingin
atau terlalu panas. Jadilah aku cuma tidur-tidur ayam sambil iseng motret muka
anak-anak, hahaha.
Pukul lima pagi, aku naik ke atas
batu dan … Masya Allah, mau nangis rasanya! Di bawah sana, tampak Kawah Ijen
berwarna hijau. Indah. Keren. Amazing. Aku baru sadar, ternyata tadi kami jalan
di pinggir kawah itu. Kalau tadi jatoh, sepertinya bakal wassalam juga. Ah,
rasanya dadaku penuh haru melihat ciptaan Allah yang sungguh tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata ini.
“Hei, kalian …! Bangun …! Sini ke
atas!” aku berteriak heboh.
Aelah, Mas Ilham dan Aka masih aja
tidur. Mas Anton sempat ngajakin lihat sunrise di atas sana, tapi niat itu
kuurungkan. Mana mungkin aku meninggalkan dua lelaki itu *eaaa. Setelah Mas
Ilham dan Aka bangun, kami langsung mengambil gambar. Foto-foto lalalalala. Mas
Anton kemudian pamit buat ngelihat sunrise. Pamitnya udah kayak orang yang
nggak bakal ketemu lagi, tahunya pas dia turun kami masih ada di tempat.
Hahaha. Kami lantas jalan bareng lagi. Ketika kami turun, kami disambut dengan
pemandangan yang nggak kalah bagusnya. Aku melihat jelmaan Lembah Kashmir! Gila
keren banget lah. Dua kilometer berikutnya, kami bertemu dengan penjual ukiran
belerang. Ternyata, di balik keindahan Ijen tersimpan sebuah ironi. Bayangkan
saja, satu kilogram belerang hanya dihargai seribu rupiah. Padahal menambang
belerang sama saja dengan merelakan nyawa yang bisa tercerabut kapan saja. Jika
kalian memiliki kesempatan ke Ijen, tidak ada salahnya kalian membeli ukiran
belerang. Murah kok, hanya 10 ribu rupiah. Kalau ukiran yang kecil-kecil hanya
dua ribuan. Ah, melihat bapak-bapak penambang belerang yang bersimbah peluh
membuatku tidak bisa berkata-kata. T.T
Kami sampai di bawah pukul tujuh pagi.
Woah, agak melelahkan tapi menyenangkan sekaliiii. Setelah sarapan dan bersih
diri, kami pun melanjutkan perjalanan. Mas Anton nggembel ke Surabaya,
sementara kami bertiga menuju Alas Purwo ….
Finally, Blue Fire! T.T |
Kawah Ijen |
Selfie w/ Mas Anton, Aka, dan Mas Ilham |
Penambang belerang |
Ukiran cantik dari belerang. Kalau berkesempatan ke Kawah Ijen, jangan lupa beli, ya! :D |
Turun gunung! |
Jember, Selasa 23 Desember 2014.
Pukul 00.09 WIB.