Semua
ini berangkat dari kekesalan saya melihat sisa nasi yang tercecer setiap
harinya. Entah itu di rumah, di warung makan langganan saya, di kantin kampus,
di mana pun lah. Coba saja kamu bayangkan, jika semua sisa nasi yang ada di dunia
ini dikumpulkan jadi satu, ada berapa banyak orang kelaparan yang
terselamatkan? Sering kali kita luput dari masalah yang dianggap remeh tersebut.
Pun saya, terkadang dengan sombongnya menyisakan makanan dengan alasan ‘sudah
kenyang’ atau ‘lagi nggak napsu makan’. Dan sampai sekarang pun saya masih
berusaha untuk tidak menyisakan makanan ketika makan. Wah, kok tulisan ini jadi
terkesan bacot banget, ya. Tapi ya sudahlah, saya hanya ingin menyampaikan apa
yang ada di kepala saya.
Di
suku saya—suku Jawa, ada suatu budaya yang (sejauh pengamatan saya) sampai
sekarang masih dipertahankan, yaitu menyisakan sedikit makanan yang disuguhkan
oleh tuan rumah atau pemilik hajatan. Filosofinya, menyisakan sedikit makanan
menunjukkan bahwa kita bukan orang yang rakus—selain untuk menjaga imej
sepertinya. Kurang lebih sebulan yang lalu, saya dan teman-teman organisasi
menerima undangan walimahan. Ada dua alumni yang akan melangsungkan akad
pernikahan di Solo. Ketika tuan rumah menghidangkan makanan, saya dan dua orang
kakak—sebut saja Mbak Kitty dan Mbak Hening—mulai ngedumel melihat tingkah para
tamu. Sebal melihat mereka menyisakan makanan banyak sekali. Hampir separuhnya!
Sementara kami menghabiskan makanan kami tanpa sisa. Selain karena memang
kelaparan sejak pagi, itu juga merupakan bentuk penghormatan kami kepada tuan
rumah. Mereka mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengolah makanan itu.
Kalau tidak dihabiskan, sama saja kami tidak menghargainya. Jadilah sepanjang
sesi makan-makan itu kami menggosip tentang makanan yang disisakan. Hah.
Berbicara
mengenai makanan sisa, saya ingin bercerita sedikit tentang sebuah komunitas
yang saya ikuti (dan saya bersyukur bisa tergabung dalam komunitas tersebut).
Kira-kira dua minggu sebelum liburan semester, saya yang sedang asyik twitteran
terhenyak melihat sebuah tweet yang di-retweet oleh Kak Erni Aladjai. Tweet
tersebut berisi foto #BerbagiNasiJogja. Foto seorang nenek tua yang tertidur di
pinggir jalan. Saya pun menelusurinya, juga di FB. Beruntunglah, Mbak Habsari—kakak
angkatan saya—saat itu kebetulan memposting informasi tentang komunitas
tersebut. Saya langsung bertanya terkait pendaftaran sebagai volunteer dan
semacamnya. Dan ternyata dia juga baru akan bergabung dengan komunitas
#BerbagiNasiJogja. Yeay, saya ada teman. Saya lalu mengajaknya berangkat
bersama, mengingat diri saya yang masih buta jalan. Ya, saya memang memiliki
dua sifat buruk yang belum hilang sampai saat ini: susah menghapal jalan dan
menghapal nama orang.
Jadi,
apa itu komunitas #BerbagiNasi?
Komunitas
#BerbagiNasi adalah salah satu komunitas yang bergerak di bidang sosial.
Komunitas ini pertama kali didirikan di Bandung, kemudian menyusul kota-kota
lainnya, salah satunya Jogja. Kegiatan utama komunitas ini adalah menabung
(membagikan nasi bungkus) kepada orang-orang yang tidur beralaskan bumi dan
beratapkan langit. Nasi dibagikan setiap hari Jumat malam di tempat yang telah
disepakati. Untuk komunitas #BerbagiNasiJogja, markasnya ada di depan Hi-Lab
Kridosono, belakang stasiun Lempuyangan. Kami berkeliling Jogja untuk
membagikan nasi kepada orang yang berhak menerimanya. Siapakah mereka? Mereka
adalah saudara kita yang masih kesulitan untuk mendapatkan makanan bergizi dan
teratur, seperti pemulung, pengemis, juga orang-orang yang masih bercapek-capek
ria bekerja di malam hari.
Bagaimana
cara bergabung dengan komunitas #BerbagiNasi?
Mudah
sekali, teman-teman. Cukup berkumpul di markas yang telah disepakati. Kalau kamu
tak punya waktu, kamu bisa membantunya dengan menyumbangkan nasi, titip kepada
teman yang akan berangkat. Bawalah nasi bungkus sesuai kesanggupan, menu
makanan minimal sama dengan yang kamu makan sehari-hari. Kalau tidak mampu
membawa nasi, cukup membawa badan dan mari turut membagikan nasi bungkus kepada
orang yang berhak. Ya, itulah gambaran sekilas mengenai komunitas #BerbagiNasi.
Tertarik untuk ikut? Mari bergabung bersama kami! :D
Saya
sungguh senang bisa bergabung dengan komunitas tersebut (dan agak menyesal
kenapa tidak bergabung dari dulu saja). Saya baru tahu kalau #BerbagiNasiJogja
akan menginjak usia satu tahun. Duh, selama ini saya ke mana saja? Hiks.
Sebenarnya sudah sejak dulu saya ingin menjadi volunteer dalam
kegiatan-kegiatan sosial, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Sampai akhirnya saya dipertemukan dengan
komunitas ini melalui akun twitter. Alhamdulillah.
Saya
masih ingat hari pertama saya bergabung dengan komunitas itu, empat hari
sebelum pulang kampung. Hari itu memberikan kesan tersendiri buat saya. Setelah
mengatur waktu sedemikian rupa (saat itu saya kebetulan ada acara di organisasi
lain), akhirnya saya bisa bergabung dengan #BerbagiNasiJogja. Saya berangkat ke
Hi-Lab Kridosono bersama Mbak Habsari. Dia yang menjadi penunjuk jalan.
Ternyata tempatnya dekat sekali, hehehe. Malam itu, pejuang nasi yang terkumpul
sekitar 30 orang dengan jumlah nasi 202 (kalau tidak salah). Kami terbagi
menjadi dua kelompok, satu kelompok ke arah utara dan satu kelompok ke arah
selatan. Saya dan Mbak Habsari kebagian kelompok utara, di daerah sekitar Tugu
Jogja. Dengan dipandu Kak X (lupa
namanya) yang menjadi kapten kelompok, kami mulai berkeliling membagikan nasi.
Ada yang bergemuruh di dada saya ketika melihat pemandangan itu. Orang-orang
yang tidur di emperan pertokoan tanpa selimut, senyum tulus mereka ketika menerima
nasi, seorang ibu-ibu yang menangis sambil mengucap syukur, juga orang gila
yang tertawa-tawa sambil memegang nasi yang kami berikan.
Melihat
mereka, saya tiba-tiba teringat dengan para tetangga saya yang istilahnya
bernasib kurang beruntung. Tentang Mbah
Y yang gantung diri karena masalah ekonomi. Tentang sepasang suami-istri yang
berada di bawah garis kemiskinan tapi semangat untuk bekerja. Tentang si Z yang
menjadi gila karena terlilit hutang (dan pada akhirnya dipasung di dalam bilik
yang tampak mengenaskan). Juga tentang Mbah T yang hidup sengsara, sementara
anak-anaknya menjadi orang sukses dan hidup mewah. Saya masih ingat ketika
salah satu dari mereka mendatangi Ibu dan berkata, “Ka, boleh saya meminta
sedikit nasi? Sebentar lagi suami saya pulang dari mencari kayu di hutan. Kami
belum makan sejak kemarin. Saya nggak papa nggak usah makan, yang penting suami
saya bisa makan. Saya nggak tega melihatnya pulang dan tidak menemukan apa pun
di dapur”. Tanpa banyak bicara, Ibu langsung mengambil nasi dan lauk di dapur.
Bagaimanalah kami sanggup menelan makanan sementara tetangga kelaparan? Ora mentolo!