Jam menunjukkan pukul 23.30 WIB
ketika ponsel Indi berdering nyaring. Melihat nama yang terpampang di layar, ia
mengerutkan kening. Fithri? Tumben sekali belum tidur jam segini.
“Haiii! Tumben masih melek?” sapa
Indi dengan penuh keceriaan.
“Hiks ... hiks ...”
Indi menempelkan ponsel lebih dekat
ke telinganya. Seperti suara orang menangis. “Fit?”
“Hiks ... hiks ...” tangisnya makin
keras terdengar.
Indi lantas membiarkannya.
Sepertinya Fithri sedang ada masalah. Tiga menit berlalu tanpa ada sepatah kata
pun yang keluar. Bingung. Ia memang tidak pandai menghadapi orang yang
menangis.
“Kita ...,” kata Fithri dengan suara
terputus-putus, “sebenernya ... kita sahabat bukan, sih?”
Indi melotot.
“Kita sahabat bukan, sih? Huhu ...”
ulang Fithri di sela-sela isaknya yang kian kencang.
“Kamu kenapa nanya kayak gitu?” Indi
balik bertanya.
“Selama ini, aku ... aku selalu
menyusahkan kalian, ya? Kalian pasti bete kan tiap hari dengerin aku?”
“Fithri, kamu kenapa sih
sebenernya?” Indi jumpalitan di tempat. Ia tidak terbiasa berada dalam suasana
melankolis nan menyedihkan seperti ini.
“Aku tahu, kalian bosan mendengar
ocehanku. Rozi bilang, dia nggak mau berteman denganku gara-gara status facebook-ku yang alay setiap hari.”
“Astaga!” Indi menepuk jidat. “Dia
becanda kaliii. Kamu kayak nggak tahu dia aja!”
“Kemarin ... pas lagi di Bangcok,
Budi dan Rozi ngata-ngatain aku. Aku ... sakit hati dengernya.”
“Mereka ngatain kayak gimana?” darah
Indi memuncak sampai ubun-ubun. Oh, ternyata dua begundal itu yang bikin Fithri
mewek!
“Iza ...,” Fithri mengabaikan
pertanyaanku, “aku udah jarang ngomong sama Iza. Kayaknya dia marah gara-gara
masalah presentasi kemarin. Aku ... aku emang sering nyusahin kalian, kan?”
Duh! Indi menepuk jidatnya lagi. Ia
malah tak tahu apa-apa soal presentasi. Semester ini mereka memang sering
bersilangan mata kuliah.
“Iya, aku memang sering nyusahin
kalian. Budi benar, aku itu manja, cengeng, dan kekanak-kanakan. Dia juga
bilang ...” Fithri lalu menumpahkan semua isi hatinya.
Indi mendengarkan dengan cermat. Dan
sepanjang curhatan malam itu, ia sangat sering mendengar nama Budi
disebut-sebut. Budi begini, Budi begitu.
“POKOKNYA, AKU NGGAK MAU KETEMU
BUDI! DIA JAHAT!”
Indi
menghembuskan napas berat. Ia sudah menduganya sejak awal. Satu-satunya orang
yang sering bikin Fithri menangis memang hanya dia, begundal Boyolali bernama
Budi Wahyono. Hah!
***
Kuliah Sastra Anak baru saja usai.
Budi keluar dari kelas dengan wajah lega. Ini adalah kuliah terakhir dan ia
ingin cepat-cepat pulang. Tapi wajahnya langsung berubah ketika menuruni tangga
gedung A. Di bawah sana, tampak Indi sedang menunggunya sambil melipat tangan
di dada. Wajahnya garang. Perasaannya jadi tak enak.
“Hei, Ndi! Belum pulang?” sapa Budi
sok cool, padahal hatinya
kebat-kebit.
Tanpa mengatakan apa pun, Indi
langsung menyeret Budi ke salah satu bangku item yang kosong. Budi duduk sambil
meletakkan tasnya di meja. Lihatlah, wajah Indi seperti tukang jagal. Tapi Budi
tetap bersikap sok santai.
“Fithri abis kamu apain?” tanya Indi
tanpa basa-basi.
“Hah?” Budi langsung bengong.
“Please, Bud, jangan masang muka
dongo gitu deh. Itu si Fithri abis kamu apain?” Indi melotot.
Budi menggaruk kepalanya. “Duh, Ndi
... kamu kenapa sih? Dateng-dateng nanya nggak jelas kayak gitu. Orang si
Fithri baik-baik aja kok.”
“Baik-baik apaan? Dia semalem
telepon aku sambil nangis-nangis tahu! Sadar nggak sih apa yang kamu lakuin ke
dia selama ini tuh nyakitin hatinya?”
“Emang dia bilang apaan?”
Indi pun menceritakan semuanya. Termasuk
masalah bullying yang dilakukan oleh
Budi dan Rozi di Bangcok.
“Yaelah, lebay banget,” Budi
memasang wajah innocent.
“Nah kaaaan, ngatain dia lebay
lagi!” Indi menjitak kepala Budi dengan kesal. “Sadar nggak sih, Bud? Dia tuh
sering bete gegara kamu suka banget ngatain dia seenak udel—walopun kamu
niatnya becanda, tapi liat-liat situasi dong. Kamu juga sering kan
ngebentak-bentak dia?”
“Wuahahahaha! Ampun, deh, Ndi. Jadi
dia nangis gara-gara itu? Kan aku enggak sengaja. Yaelah, dramatis amat si Pitri.
Gimana entar kalo jadi istriku coba? Musti sabaaarrr, Ya Allah ....”
Plak! Indi memukul kepala Budi
dengan gemas. Kenapa dia malah ngakak? Heran! Dan ... apa katanya tadi? Istri?
OMG, sempat-sempatnya becanda gituan.
“Nggak sengaja tapi kenapa keseringan,
ha? Lagian, ya ampuuun, Budi! Kamu kan tahu Fithri itu orangnya kayak gimana?
Hatinya itu sehalus debu beterbangan. Rapuh dan gampang hancur kalau diterpa
badai.”
“Buahahahaha!” Budi ngakak makin
kenceng. “Gembel, sok puitis lu!”
Indi ikut-ikutan ngakak, tapi cuma
beberapa detik saja. Ia kembali memasang wajah serius. “Dan kamu tahu nggak,
apa yang sering banget bikin Fithri sakit hati sama kamu?”
“Apaan emang?”
“Aduh, Budi! Mukamu lempeng banget
sih jadi orang! Serius dikit napa?”
“Ini aku serius, oncom!” Budi
melotot. “Emang mukaku kayak gini sejak lahir, jadi harap maklum.”
Indi menghembuskan napas sejenak,
lalu menatap Budi dengan wajah serius. “Fithri itu nggak suka
dibanding-bandingin.”
“Dibanding-bandingin?” Budi masih
nggak ngeh.
“Iya, kamu sering banget
ngebanding-bandingin dia dengan orang lain, dan Fithri nggak suka itu.”
Budi terdiam.
“Kamu sering banget kan bilang ‘Pit,
lihat tuh si Iza. Udah pinter, kalem, shalihah lagi. Kamu tuh mustinya nyontoh
dia, jangan suka cekakak’an nggak jelas’. Meskipun dia
sadar, ya, Bud, kalo perkataanmu ada benernya, tapi dia tetep aja nggak suka
dibanding-bandingin. Apalagi dibandingin sama orang yang deket sama kita, itu
nyakitin banget.”
Budi masih terdiam. Kali ini ia
tidak tertawa. Raut wajahnya tampak sedikit pias.
“Besok-besok, kalau ngomong sama
Fihtri mbok ya dipikir dulu. Jangan
asal nyablak. Dia itu orangnya perasa—yang selalu kamu artikan sebagai
lebay—dan sensitif banget. Kamu jadi orang peka dikit dong, Bud. Fithri tuh
dari kemarin-kemarin ngerasa kamu jauhin tahu!”
“Ha? Siapa yang ngejauhin dia?
Perasaan kami biasa aja deh,” Budi mengerutkan kening.
“Nah, kan, nggak peka! Sumpah, ini
anak emang pekok banget!” Indi gemas sendiri. “Udah, ah, aku balik dulu, ya!
Tolong kata-kataku tadi disimpen di hati, jangan masuk telinga kanan trus
keluar telinga kiri. Pikirin baik-baik. Aku cuma pengen persahabatan kita
baik-baik aja, nggak ada yang saling menyakiti.”
Indi pun berlalu. Meninggalkan Budi
yang masih tercenung di tempat.
***
Keesokan harinya. Teras MEC, pukul
tiga sore.
Iza, Rozi, dan Indi tampak duduk
lesehan di teras MEC. Hari ini mereka akan mengadakan rapat bulanan KMSI.
Sambil menunggu anak-anak lain datang, mereka berembuk mencari jalan keluar
atas badai perasaan yang menimpa Fithri. Yeah, apalagi kalau bukan gara-gara
Budi pekok itu!
“Emang sih, Budi kadang suka
keterlaluan kalau ngomong. Tapi teh Fithri juga gitu, udah tahu Budi pekoknya
kayak gimana, tapi semua omongannya dimasukin ati banget,” kata Iza.
“She
is drama queen, right?” timpal Rozi.
Indi langsung menimpuk kepala Rozi
dengan buku. “Kamu juga! Ngapain pake bilang ogah temenan ama Fithri segala?
Sedih kan dia jadinya?”
“Hellooyeeeeee, aku kan cuma becanda
doang. Masa iya aku beneran nggak mau temenan cuman gara-gara status FB, please ...” Rozi memasang tampang nggak
berdosa.
“Oya, emang pas presentasi kemarin
ada apaan, sih, Za? Kok Fithri bilang, dia ngerasa bersalah gitu sama kamu?”
Indi penasaran.
Iza mengerutkan kening. “Presentasi
apaan?”
“Itu ... linguistik austronesia
kalau nggak salah. Kan aku nggak ikutan makul itu. Emang pas kalian presentasi,
ada masalah apa kok sampe-sampe dia ngerasa bersalah banget?” jelas Indi
panjang lebar.
Iza bertambah bingung. “Iya po, dia
merasa bersalah? Tapi gara-gara apa? Perasaan nggak ada masalah apa-apa deh
....”
“Hzzz ... ya udah, nggak usah
diterusin, kamunya malah nggak sadar gitu,” Indi geleng-geleng.
Tak lama kemudian, anak-anak pun
datang. Rozi yang bertindak sebagai ketua KMSI langsung memulai rapat. Satu jam
berlalu, tapi batang hidung Budi dan Fithri belum tampak juga. Padahal mereka
juga pengurus KMSI. Ada apa dengan mereka? Marahan?
“Ok, mungkin ada saran dari
teman-teman terkait persiapan Bulan Bahasa nanti?” Rozi melempar pertanyaan ke
forum.
Beberapa anak tampak mengacungkan
tangan. Rozi lalu mempersilakan mereka mengajukan pendapat masing-masing.
Setengah jam kemudian, Iza sebagai sekretaris membacakan hasil rapat sore itu. Setelah
itu, Rozi menutup rapat sembari mengingatkan agenda minggu depan.
“Rapatnya udah selesai, ya?” sebuah
suara muncul di sela-sela suara berisik anak-anak. Tampak Budi dan Fithri yang
berjalan dengan napas ngos-ngosan.
“Yaelah, udah kelar! Sana balik!”
Odeng geleng-geleng melihat mereka berdua, lalu berlari menyusul anak-anak lain
ke parkiran.
Budi dan Fithri cengengesan. Sama
sekali tidak tampak seperti habis kena masalah. Indi, Rozi, dan Iza memandang
mereka dengan heran.
“Kalian dari mana aja?” tanya Iza.
“Ini, abis nganterin si kunyuk satu
ini ngisi ulang galon di kosnya. Mana jalanan macet, telat deh!”
“Kamu, sih, Bud, pake sok-sokan
nyari jalan tikus, malah nyasar jadinya!”
“Berisik, ah! Masih untung aku mau
nganter!”
“Yeee, kan kamu sendiri yang bilang
bakalan ngisi galonku kalo abis!”
Indi, Iza, dan Rozi saling berpandangan,
lalu mengangguk bersamaan. Dua anak manusia di hadapan mereka itu memang aneh.
Tidak terhitung berapa kali mereka bertengkar, tapi ujung-ujungnya baikan juga.
Hari ini menyumpah-nyumpah nggak bakalan menghubungi lah, nggak mau temenan lah,
tapi keesokan harinya tertawa-tawa seolah tidak ada masalah apa pun. Ketika
berkumpul, mereka sering memperkarakan hal-hal remeh dan berujung pada
pertengkaran. Tapi jika salah satu di antara mereka menghilang, maka yang
satunya akan bingung mencari-cari. Ya, memang begitulah mereka. Drama Queen.
TAMAT
Cerpen ini saya persembahkan untuk
sahabat saya yang pekok sekali: Budi Wahyono. Selamat ulang tahun yang ke-20,
dear. Anggap saja ini kado dariku. Walaupun ceritanya enggak bagus-bagus
amat—bahkan cenderung flat, semoga engkau menyukainya :)
*ini pas diposting di blog kok berantakan banget, maap yak .__.