Hari ini, saya bersumpah. Setelah rasa kecewa itu menumpuk dari hari ke hari, menggumpal, lalu meledak tanpa bisa saya tahan lagi.
Kalau saya memilih marah meledak-ledak, bisa saja kata-kata ini terlontar.
"Jancuk!"
"Taik!"
"Anjing!"
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, lebih baik saya tak usah marah berlebihan. Cukup mengumpat seperlunya, lantas bersumpah pada diri sendiri.
Iya. Hari ini saya bersumpah. Setelah dipermalukan di depan banyak orang, dan mempermalukan orang-orang yang saya sayangi dalam waktu yang sama, keluarga besar saya di jurusan tercinta. Membuat orang yang awalnya datang berduyun-duyun lantas pergi dengan wajah kecewa. Merasa tertipu. Saya telah mencoreng nama keluarga saya. Dan mencoreng nama saya sendiri.
Ini hari yang bersejarah, wahai. Lantas rusak seperti terkena badai dan tsunami. Taik.
Tahu nggak gimana rasanya diabaikan hanya gara-gara ada sesuatu yang 'lebih penting'? Tahu nggak gimana rasanya dinomorduakan setelah melakukan perjanjian di awal? Ah, lagi-lagi taik.
Sekadar tahu saja, saya adalah orang yang paling tidak suka dengan dua kata ini: ingkar janji. Kalau saya diremehkan, maka saya akan balik meremehkan. Kalau saya dikecewakan berkali-kali setelah saya berkali-kali mencoba memaklumi, maka jangan harap mendapat kepercayaan saya lagi. Saya tidak suka menunggu ber-jam-jam tanpa kejelasan, berkali-kali.
Percaya atau tidak, saya sudah tidak bisa respek lagi pada dia. Orang yang katanya berbudaya, berkesenian, bergudang penghargaan. Apalah artinya semua itu kalau mangkir dari janji? Bagi saya, janji adalah hutang yang harus dibayar.
Tapi ..., sudahlah. Saya tak akan menagih hutang itu. Saya hanya ingin bersumpah.
Sumpah: Kalau saya menjadi orang besar nanti, saya tidak akan pernah membatalkan janji dengan siapapun, meskipun tiba-tiba presiden negara ini ingin bertemu dengan saya. Saya akan memprioritaskan janji yang pertama, apapun yang terjadi. Karena saya tahu bagaimana rasanya diremehkan.
Untuk segala luka yang menganga,
Yogyakarta, 4 Juli 2013.
Kalau saya memilih marah meledak-ledak, bisa saja kata-kata ini terlontar.
"Jancuk!"
"Taik!"
"Anjing!"
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, lebih baik saya tak usah marah berlebihan. Cukup mengumpat seperlunya, lantas bersumpah pada diri sendiri.
Iya. Hari ini saya bersumpah. Setelah dipermalukan di depan banyak orang, dan mempermalukan orang-orang yang saya sayangi dalam waktu yang sama, keluarga besar saya di jurusan tercinta. Membuat orang yang awalnya datang berduyun-duyun lantas pergi dengan wajah kecewa. Merasa tertipu. Saya telah mencoreng nama keluarga saya. Dan mencoreng nama saya sendiri.
Ini hari yang bersejarah, wahai. Lantas rusak seperti terkena badai dan tsunami. Taik.
Tahu nggak gimana rasanya diabaikan hanya gara-gara ada sesuatu yang 'lebih penting'? Tahu nggak gimana rasanya dinomorduakan setelah melakukan perjanjian di awal? Ah, lagi-lagi taik.
Sekadar tahu saja, saya adalah orang yang paling tidak suka dengan dua kata ini: ingkar janji. Kalau saya diremehkan, maka saya akan balik meremehkan. Kalau saya dikecewakan berkali-kali setelah saya berkali-kali mencoba memaklumi, maka jangan harap mendapat kepercayaan saya lagi. Saya tidak suka menunggu ber-jam-jam tanpa kejelasan, berkali-kali.
Percaya atau tidak, saya sudah tidak bisa respek lagi pada dia. Orang yang katanya berbudaya, berkesenian, bergudang penghargaan. Apalah artinya semua itu kalau mangkir dari janji? Bagi saya, janji adalah hutang yang harus dibayar.
Tapi ..., sudahlah. Saya tak akan menagih hutang itu. Saya hanya ingin bersumpah.
Sumpah: Kalau saya menjadi orang besar nanti, saya tidak akan pernah membatalkan janji dengan siapapun, meskipun tiba-tiba presiden negara ini ingin bertemu dengan saya. Saya akan memprioritaskan janji yang pertama, apapun yang terjadi. Karena saya tahu bagaimana rasanya diremehkan.
Untuk segala luka yang menganga,
Yogyakarta, 4 Juli 2013.
lapo kon ndi?? weleh,,weleh,,,,
BalasHapusHahaha, lagi pengen nyumpahi wong.
BalasHapus