PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dari interaksi
dengan manusia lain. Interaksi tersebut memiliki beragam tujuan, seperti
membina kerja sama, merekatkan hubungan, saling tolong-menolong, dan sebagainya.
Hal itu wajar karena manusia memang diciptakan sebagai makhluk sosial, yakni
makhluk yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lainnya. Meski demikian, ada
kalanya dalam berinteraksi terdapat perbedaan pendapat atau pun kesalahpahaman.
Situasi demikian dapat mendorong seseorang untuk mengeluarkan perkataan kasar
untuk mengekspresikan perasaannya.
Umpatan merupakan bentuk ekpresi yang dilakukan seseorang ketika
mengalami suatu tekanan atau pun situasi yang kurang nyaman. Hal itu dilakukan
sebagai bentuk perlawanan terhadap lawan bicara yang dirasa telah menyinggung
perasaannya. Akan tetapi, tidak jarang pula umpatan digunakan sebagai simbol
keakraban. Kata yang terdengar kasar dan tabu di suatu tempat bisa menjadi kata
yang dianggap wajar atau lumrah di tempat lain. Hal ini bergantung pada konteks
penggunaannya. Jika umpatan diucapkan dalam keadaan emosi dengan nada tinggi,
maka itu artinya sebagai bentuk ekpresi kemarahan. Misalnya, kalimat dialek
jawa timuran, “Jancuk, koen! Rasah golek
perkoro! (Jancuk, kamu! Tidak usah mencari perkara!)” merupakan umpatan
yang diucapkan dalam kondisi marah. Sebaliknya, jika makian diucapkan dalam
situasi yang santai dan akrab, maka itu artinya sebagai bentuk ekspresi
keakraban. Misalnya, kalimat dialek jawa timuran, “Ya’opo kabarmu, Cuk? Mak suwi
ra pethuk raimu. Kangen tenan aku, Cuk! (Bagaimana kabarmu, Cuk? Lama tidak
berjumpa denganmu. Aku kangen sekali, Cuk!) merupakan umpatan yang diucapkan
dalam suasana yang akrab dan santai.
Penelitian mengenai umpatan berbahasa Jawa tampaknya masih belum banyak
dilakukan oleh peneliti bahasa. Hal ini dikarenakan sulitnya peneliti dalam
mencari data. Jika pun ada, pembahasan mengenai umpatan berbahasa Jawa terdapat
di internet dengan sumber data yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Akan
tetapi, peneliti menemukan salah satu sumber yang membahas mengenai umpatan. Di
dalam buku Sosiolinguistik: Kajian Teori
dan Analisis yang ditulis oleh
Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M. A. dan Muhammad Rohmadi, S.S., M. Hum,
di Bab 8 terdapat pembahasan mengenai umpatan. Meskipun yang dibahas adalah
umpatan dalam Bahasa Indonesia, akan tetapi hal itu cukup untuk dijadikan bahan
referensi yang akan memudahkan peneliti untuk meneliti. Diharapkan penelitian
ini dapat melengkapi pembahasan mengenai umpatan yang telah dibahas dalam buku
tersebut.
Studi tentang makian erat kaitannya dengan
sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang
mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam
masyarakat (Chaer, 1995:3). Sosiolinguistik erat kaitannya dengan interaksi
yang terjadi antar manusia, salah satunya adalah umpatan yang terbentuk melalui
interaksi.
Studi tentang makian erat berkaitan dengan masalah
tabu (taboo). Kata taboo sendiri secara etimologis berasal
dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook yang kemudian
masuk ke dalam bahasa Inggris, dan seterusnya ke dalam bahasa-bahasa Eropa
lainnya (Ullman via Wijana, 2006:110). Kata ini memiliki makna yang sangat
luas, akan tetapi pada umumnya memiliki makna ‘sesuatu yang dilarang’. Meski
demikian, umpatan atau makian memiliki peranan yang cukup penting karena sering
bermunculan dalam proses interaksi. Umpatan tersebut memiliki makna yang
bermacam-macam, bergantung dari kondisi penutur saat mengucapkannya.
FUNGSI
DAN BENTUK-BENTUK UMPATAN
A. Umpatan
Berbentuk Kata
1. Keadaan
-
Jancoooook!
Koen nantang aku carok a?
(Jancuk, kamu menantangku berantem, ya?)
-
Endos,
ngunu thok ae gak iso! Hahaha! (Bodoh, seperti ini saja tidak bisa! Hahaha!)
2. Binatang
-
Asu
tenan kowe, nggarai mangkel ati! (Anjing sekali kamu, bikin sakit hati!)
-
Jaran
rek, seng nggenah ae aku dikenekne? Hahaha! (Kuda, yang benar saja aku diginiin? Hahaha!)
3. Makhluk
Halus
-
Setan!
Wani-wanine golek goro-goro neng aku! (Setan!
Berani-beraninya mencari gara-gara sama aku!)
-
Beh, ndengaren Iblis
sitok’an iki gelem nggarap tugas kuliah. (Wow, tumben Iblis
satu ini mau mengerjakan tugas kuliah)
4. Benda-benda
-
Taik arek
iki, bacotane jan ra kenek dipercoyo! (Taik anak
ini, omongannya memang tidak bisa dipercaya!)
-
Tak akoni, rai
aspal-mu pas nguber-nguber aku kuwi lho seng nggarai aku iso trisno karo
kowe. (Aku akui, muka aspal-mu itu lho yang membuatku
bisa suka sama kamu)
5. Bagian
Tubuh
-
Dapurmu,
ndasku yo mumet ki! (Mukamu, kepalaku juga pusing nih!)
-
Matamu
picek a? Wes eroh lampu abang ditrobos ae! (Matamu
buta, ya?
Sudah tahu lampu merah menyala, main
terobos saja!)
6. Kekerabatan
-
Mbok reken iki dalane mbahmu a?
(Kamu pikir ini jalannya nenekmu?)
B. Konteks
Pemakaian Umpatan
-
Jancoooook!
Koen nantang aku carok a?
(Jancuk, kamu menantangku berantem, ya?)
Kosakata jancok dalam
konteks kalimat tersebut digunakan oleh penutur kepada mitra tutur dalam
keadaan marah. Kalimat itu biasanya muncul ketika mitra tutur melakukan sesuatu
yang berlangsung terus-menerus hingga membuat penutur jengkel dan meluapkan
kemarahannya.
-
Hahahahaassssyyyuuuuu!
Mbuh lah karepmu, kene yo mumet. ( Hahahhahasssyuuuuuu! Terserahmu lah, aku juga pusing)
Kata Asu merupakan
bahasa Jawa yang memiliki arti Anjing.
Kata tersebut merupakan salah satu referensi umpatan berupa penyebutan nama
hewan. Perlu diketahui, tidak semua hewan dapat digunakan untuk mengumpat.
Biasanya hewan yang digunakan untuk mengumpat adalah hewan yang memiliki sifat
menjijikkan dan membuat orang enggan menyentuhnya. Anjing merupakan salah satu
hewan yang memiliki sifat tersebut, yakni memiliki air liur yang menjijikkan,
gonggongannya memekakkan telinga, dan diharamkan oleh agama tertentu
Kosakata asu
dalam konteks kalimat di atas bercampur dengan ekspresi tawa “Hahahaha” yang
diluapkan oleh penutur. Kata asu yang
bercampur dengan tawa menjunjukkan bahwa penutur tengah frustrasi menghadapi
mitra tutur.
-
Setan!
Wani-wanine golek goro-goro neng aku! (Setan!
Berani-beraninya mencari gara-gara sama aku!)
Di dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia, setan memiliki arti makhluk gaib atau makhluk
halus. Kata tersebut merupakan salah satu referensi umpatan berupa makhluk halus. Setan merupakan makhluk yang sering mengganggu kehidupan manusia,
biasanya diartikan sebagai arwah manusia yang sudah mati dan bergentayangan.
Sifatnya yang merugikan manusia sering digunakan untuk melontarkan umpatan
kepada lawan bicara.
Kosakata setan dalam konteks kalimat di atas
diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam keadaan marah. Kalimat tersebut
diucapkan secara spontan oleh penutur ketika tersulut emosi.
-
Taik arek
iki, bacotane jan ra kenek dipercoyo! (Taik anak
ini, omongannya memang tidak bisa dipercaya!)
Kata taik
berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti kotoran.
Kata tersebut merupakan salah satu referensi umpatan berupa penyebutan
nama-nama benda. Taik adalah benda
menjijikkan berupa kotoran dengan bau menyengat. Taik digunakan sebagai umpatan untuk meluapkan beragam emosi.
Kosakata taik
dalam kalimat di atas diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam keadaan
marah. Penutur menggunakan kalimat tersebut untuk menunjukkan rasa kesal kepada
mitra tutur yang tidak bisa dipercaya.
-
Matamu
picek a? Wes eroh lampu abang ditrobos ae! (Matamu buta, ya? Sudah tahu
lampu merah menyala, main terobos saja!)
Kata matamu dalam konteks kalimat di atas
diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur dalam kondisi marah. Penutur
mengucapkan kalimat tersebut karena mitra tutur tidak mengendarai motor sesuka
hati, sehingga nyaris menabrak penutur.
-
Mbok reken iki dalane mbahmu a?
(Kamu pikir ini jalanannya nenekmu?)
Kata mbahmu
merupakan salah satu referensi umpatan yang masuk kategori kekerabatan. Umpatan
yang menggunakan kata-kata kekerabatan mengacu pada orang yang dihormati, oleh
karenanya dianggap tabu untuk diucapkan. Akan tetapi, penutur bahasa Jawa
maupun Indonesia sering kali menyangkut-nyangkutkan kata-kata kekerabatan ini
dengan menambahkan klitika –mu di belakangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul, Agustina, Leonie. 1995. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Wijana,
I Dewa Putu. 2006. Sosiolinguistik:
Kajian Teori dan Analisis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rina memangdangi tugas UAS Metode Penelitian Bahasa dengan kening mengkerut. Dia sangat frustrasi. Dia hanya ingin melakukan satu hal saat ini: meneriakkan data umpatan itu satu per satu.