Tahun lalu, saya hampir jatuh pingsan saat usia kandungan menginjak trimester kedua. Setelah periksa ke dokter, saya divonis anemia cukup berat sehingga harus mengonsumsi beberapa tablet obat. Setelah melahirkan pun, saya tetap mengonsumsi obat tersebut. Namun, tahukah kamu bagaimana respons orang-orang di sekitar saya?
"Ah, kalau hamil memang biasanya anemia."
"Biasa itu mah, jangan terlalu dipikirin."
"Nanti lama-lama juga sembuh."
Saking seringnya ibu hamil terkena anemia, lama-lama hal itu dianggap lumrah. Dalam hati saya bertanya-tanya, "Bener gak sih anemia hal yang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan?". Pertanyaan itu pun terjawab saat saya menyimak webinar "Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi" di akun YouTube Nutrisi Bangsa. Ternyata, anemia itu bisa jadi lingkaran setan. Tidak hanya berdampak buruk bagi ibu hamil, melainkan juga pada balita hingga remaja.
Status gizi yang kurang baik akan berisiko stunting
Menurut dr Spesialis Gizi Klinik Diana Sunardi, anemia adalah suatu kondisi rendahnya kadar Hb dibandingkan dengan kadar normal yang menunjukkan kurangnya jumlah sel darah merah yang bersirkulasi. Berdasarkan data Riskesdas 2013, angka anemia di Indonesia pada balita laki-laki sebanyak 29,7%, balita perempuan 26,5%, anak laki-laki usia 6-12 tahun 28%, anak perempuan usia 6-12 tahun 27,4%, perempuan usia 15 tahun (tidak hamil) 22,7%, laki-laki usia 15 tahun 16,6%, ibu hamil 37,1%, laki-laki 18,4%, dan perempuan 23,9%.
Proporsi anemia pada ibu hamil juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan Riskesdas 2013 sebanyak 37,1%, lalu pada 2018 meningkat menjadi 48,9%.
"Ini harus jadi perhatian oleh pemerintah kita karena anemia merupakan tantangan lintas generasi, masa remaja hingga anak. Masalah gizi di Indonesia ini memang mulai dari ibu menyusui, balita, remaja, hingga ibu hamil. Angka anemia juga memenuhi angka malnutrisi di Indonesia, yaitu stunting," ungkap dr Diana dalam webinar tersebut.
Angka stunting di Indonesia berkisar 37,2%. Menurut dr Diana, siklus stunting memang berawal dari status gizi yang kurang baik pada remaja putri. Ketika suatu saat dia hamil, dia akan mengalami anemia defisiensi zat besi. Akibatnya, lahirlah bayi-bayi yang kurang nutrisi dan berisiko stunting.
"Pertumbuhan seorang anak dipengaruhi oleh banyak hal. Mulai dari protein, vitamin, karbohidrat, mineral, kalsium, dan faktor terpenting adalah zat besi. Zat besi tidak hanya untuk sel darah merah atau haemoglobin atau anemia pada balita, tapi juga untuk pertumbuhannya," jelas dr Diana.
Pahami gejala anemia
Ada beberapa gejala anemia yang perlu dipahami.Gejala umum berupa kelopak mata pucat dan kulit pucat. Apabila anemia berat, penderita mengalami napas cepat atau sesak napas, kelemahan otot, dan tekanan darah rendah. Sementara, anemia kronis ditandai dengan pembesaran limpa, nadi cepat, dan sakit kepala. Pada ibu hamil, gejala anemia ditandai mulai dari wajah dan kelopak mata yang pucat, kurang napsu makan, lesu dan lemah, cepat lelah, sering pusing dan mata berkunang-kunang.
"Dampak anemia pada kehamilan ini cukup serius dan harus dapat perhatian. Anemia dapat meningkatkan infeksi, premature, preeklamsia, gangguan pertumbuhan janjin, gangguan fungsi jantung, hingga perdarahan pascamelahirkan," kata dr Diana.
Sementara, gejala anemia pada anak-anak adalah rewel, lemas, pusing, tidak napsu makan, gangguan konsentrasi, gangguan pertumbuhan, cenderung mengantuk dan tidak aktif bergerak. Menurut dr Diana, dampak jangka panjang anemia baik pada orang dewasa maupun anak-anak adalah menurunkan daya tahan tubuh.
"Infeksi akan meningkat serta kurang bugar. Konsentrasi yang kurang ini akan menurunkan prestasi dan kinerja," ungkapnya.
Hingga kini, pemerintah telah mencanangkan pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan untuk lintas usia agar mata rantai masalah nutrisi dapat terselesaikan. Cara dan upaya pencegahan terjadinya anemia pada remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan balita melalui konsumsi gizi seimbang dan lengkap, berupa makanan kaya akan zat besi dan pengoptimalan penyerapan zat.
Penyebab anemia dan cara penanganannya
dr Diana menjelaskan, penyebab anemia kurang zat besi yang utama adalah asupan makanan, kemudian baru diikuti penyakit atau penyebab lain. Berdasarkan Riskesdas, konsumsi pangan di Indonesia masih didominasi oleh nabati, asupan energi dan protein masih rendah, sehingga terjadi defisit energi, protein dan micronutrient. Anemia kurang zat besi disebabkan faktor asupan, yaitu rendahnya asupan zat besi, terutama besi heme. Kemudian, rendahnya asupan vitamin C, konsumsi sumber fitat yang berlebihan, konsumsi sumber tannin (kopi, teh) berlebihan, dan menjalankan diet tidak seimbang.
Pada anak-anak, anemia kurang zat besi dapat terjadi apabila tergolong pemilih makanan atau picky eater. Anemia juga dapat terjadi akibat asupan makanan yang tidak bervariasi, kondisi tertentu yang menyebabkan gangguan penyerapan, dan asupan besi rendah (alergi bahan makanan sumber besi heme).
"Zat besi heme tergantung pada sumber protein hewani, untuk penyerapannya mudah, jadi akan langsung diserap oleh tubbuh. Sementara, zat besi non heme harus melalui proses agar dapat diserap dengan baik oleh tubuh. Untuk zat besi non heme ada di bahan makanan nabati, itu asupannya ditingkatkan dengan vitamin C. Tetapi, besi non heme ini dari bahan makanan nabati itu akan dihambat oleh serat," kata dr Diana.
Penyerapan besi non heme berupa asam askorbat, vitamin C, asam sitrat, komponen-komponen makanan lain. Sementara, zat-zat yang dapat menghambat penyerapan di antaranya fitat, tannin, polifenol, kalsium, dan seng (zinc).
Bahan makanan sumber zat besi hewani bisa didapatkan melalui daging sapi, domba, ayam, hati ayam, hati sapi, hati domba, dan ikan salmon. Kemudian, zat besi nabati bisa didapatkan melalui daun hijau. Untuk mengoptimalkannya harus dikonsumsi bersama makanan yang dapat meningkatkan peynyerapan, yaitu vitamin C. Bahan makanan yang mengandung vitamin C di antaranya paprika merah, brokoli, jambu biji, kiwi, cabai, kelengkeng, stroberi, blewah, mangga, tomat, dan jeruk.
"Oleh sebab itu, penanganan masalah anemia dan gizi lainnya di Indonesia dikonservasikan berkelanjutan terus-menerus. Mulai dari remaja putri, anak usia sekolah dapar makanan tambahan, balita, ibu hamil, hingga lansia," jelas dr Diana.
Upaya penanganan anemia pada remaja putri dilakukan melalui kombinasi kerja sama antara dinas kesehatan, dinas pendidikan, persatuan orangtua murid, sekolah, dan organisasi lain yang bergerak di bidang kesehatan. Kemudian, penanganan anemia pada ibu hamil dilakukan melalui kerja sama puskesmas, keluarga, masyarakat, posyandu, antenatal care, serta penyediaan fortifikasi makanan untuk ibu hamil.
"Pastikan asupan bergizi seimbang. Bila asupan didominasi sumber besi non heme, pastikan dikonsumsi bersama dengan unsur yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Fortifikasi makanan ini di antaranya tepung terigu atau tepung beras, biskuit, dan susu. Terakhir, patuh mengonsumsi tablet tambah darah," kata dr Diana.
Masalah gizi umumnya terjadi karena kurangnya pengetahuan
Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan, masalah gizi di Indonesia tidak melulu karena tidak punya uang, melainkan kurangnya pengetahuan. Menurut Arif, Danone Indonesia sangat ingin mengedukasi melalui kerja sama mitra. Ini akan memengaruhi habit pola makan dan minum dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia.
"Salah satu programnya adalah isi piringku yang ingin mempromosikan gizi seimbang untuk anak usia 4-6 tahun melalui guru dan orang tua. Program ini sudah melibatkan 4000 guru dan 40.000 siswa paud, dan 44 ribu ibu-ibu," jelas Arif.
Selain itu, Danone Indonesia juga menginisiasi gerakan Ayo Minum Air (Amir). Ini didorong fakta dari survei yang dilakukan Danone Indonesia, sebanyak 4 dari 5 anak Indonesia kurang minum. Padahal, kekurangan hidrasi 2 persen saja bisa memengaruhi konsentrasi. Menurut Arif, program Amir bertujuan meningkatkan kebiasaan minum 7-8 gelas per hari. Program ini diikuti lebih dari 700 ribu siswa SD serta 1,2 juta siswa Paud di 5 Provinsi dan melibatkan 1,2 juta lebih kader PKK.
Program lainnya adalah warung anak sehat. Program ini bertujuan mengedukasi ibu-ibu pengelola kantin di sekolah. Hingga kini tercatat 234 agen warung yang aktif, lebih dari 300 guru terlatih, dan 6000 ibu yang terlibat.
Danone Indonesia juga melakukan edukasi masyarakat tentang gizi dan kesehatan. Berikut tiga program andalannya.
1. Gesid (Generasi Sehat Indonesia)
Program ini bertujuan membangun pemahaman dan kesadaran remaja tentang kesehatan dan gizi remaja, pentingnya 1000 hari pertama kehidupan dan pembentukan karakter. Program ini telah menjangkau 2000 siswa di 5 SMP dan 5 SMA.
2. Taman Pintar
Danone Indonesia mendukung 4 fasilitas pendidikan yang fokus pada kesehatan dan gizi di Taman Pintar, Yogyakarta untuk 1 juta pengunjung per tahun (sebelum pandemik).
3. Duta 1000 pelangi
Danone Indonesia memberikan bantuan kepada karyawan dan masyarakat sekitar tentang masalah gizi dan kesehatan dalam 1000 hari pertama kehidupan dengan menjadikan karyawan sebagai duta. Karyawan dilatih dan dibekali pengetahuan tentang gizi seimbang.