Risma
mengepaki barang-barangnya dengan perasaan campur aduk. Jadi begini rasanya
hidup di Kampung Inggris. Pada hari-hari pertama tinggal di tempat ini, ia
selalu menanti akhir bulan agar bisa cepat pulang. Ia membenci bahasa Inggris
sampai ke ubun-ubun. Tapi kebenciannya perlahan-lahan luntur seiring dengan
kebersamaan yang ia rasakan bersama teman-teman. Kampung Inggris menyimpan
berjuta cerita yang tidak terlupakan. Setiap sudut Kampung Inggris memiliki
kesan tersendiri baginya. Elfast, camp Griya Kemuning, teman-teman E-Fast One,
Sakti, Mei, Mr. Kalend, Air Terjun Madakaripura, Candi Surowono, Toko Buku
“Berkah”, ratusan sepeda ontel yang memenuhi jalanan setiap harinya, dan semua
hal yang ada di Kampung Inggris kelak akan selalu ia rindukan.
“Risma, beneran
nih mau pulang sekarang? Keep contact, ya!” Army memeluk Risma erat-erat. Sudut
matanya berair.
“Of course yes, my beloved
roommate,” jawab Risma sambil tersenyum.
“Jaga diri kamu baik-baik. Semoga
cepat meraih gelar sarjana!” kata Usta setengah bercanda.
“Iya, Miss. Makasih banyak atas
semua ilmu yang Miss Usta berikan,” Risma memeluk Usta.
“Kalau jadian dengan Mr. Sakti,
kabar-kabar, ya,” celetuk Elsa.
Anak-anak tertawa. Satu per satu
memeluknya, memberikan salam perpisahan. Ah, betapa menyedihkannya. Sembari
menahan air matanya agar tidak tumpah, ia berjalan menuju taksi yang sedari
tadi menunggunya. Risma melambaikan tangannya dari dalam. Begitu taksi berjalan
dan menjauh dari camp Griya Kemuning, tangis Risma pecah.
Tetiba saja ia teringat Sakti. Entah
di mana anak itu sekarang. Setelah berjanji akan menemuinya sebelum ia pulang
ke Jogja, Sakti menghilang begitu saja. Tak ada kabar apa pun sejak pagi.
Mungkin Sakti sudah melupakannya. Mungkin Sakti sedari awal memang hanya
mempermainkannya. Kampung Inggris memang identik dengan cinta periode, kan? Dan
ia menjadi salah satu orang yang terjebak di dalamnya