Rea
memandangi laptopnya dengan stress. Tangannya mengetik huruf demi huruf dengan
cepat. Hanya ada satu kata yang memenuhi kepalanya saat ini: Deadline. Keningnya tampak
berkerut-kerut. Belum lagi lingkaran hitam yang menggantung di bawah kelopak
matanya. Sudah tiga hari ini dia tak bisa tidur dengan tenang. Banyak tugas
yang harus segera diselesaikannya. Proposal, surat undangan, surat izin dan
tetek bengeknya, tugas kampus, dan entah apa lagi. Rasanya sekarang dia
kesulitan bernafas.
Drrrt….Drrrt…Drrrt…
Hapenya
bergetar pelan. Ada beberapa sms masuk. Rea membacanya dengan cepat. Satu sms
dari ketua panitia, menanyakan apakah surat yang dia bikin sudah selesai. Satu
sms dari teman organisasi, menagih proposal yang harus segera diselesaikan.
Rentetan sms dari peserta lomba, meminta konfirmasi naskah dan macam-macam
pertanyaan lainnya.
“Aaaarrggghhhh!!” Rea memegangi kepalanya.
Pusing. Bingung menatap laptop, kertas-kertas yang berceceran, hape yang tak
mau berhenti berbunyi, semuanya!
“Please…sedetik
lagi, aku bisa pingsaaaaannnn!!” Rea berteriak-teriak seorang diri di kamarnya.
Semua penghuni kosan sedang pergi. Jadilah dia stress seorang diri. Ya,
akhir-akhir ini dia memang agak sibuk dengan persiapan acara kampus dan acara
organisasinya.
Drrrt….Drrrt….Drrrt…
Hapenya
berbunyi lagi. Kali ini ada yang menelepon. Rea memandang layar hapenya. Nomor
asing. Dibiarkannya hape itu. Dia memang paling malas menanggapi nomor tak
dikenal. Tapi nomor itu terus-menerus menerornya. Dengan agak kesal, dia pun
mengangkat telepon itu.
“Rea…….!!!
Rea……!!!” teriak sebuah suara di ujung sana. Rea bahkan belum sempat berucap
satu patah kata pun.
“Siapa?”
tanya Rea dingin.
“Hei!
Jangan bilang kamu gak kenal aku lagi!”
Rea
mengerutkan kening sebentar, lalu tersenyum. “Ah, Amel! Kamu ini selalu aja
ganti-ganti nomor, bikin bingung saja!”
“Hehehe,
maaf deh, kemarin nomorku terblokir…” suara Amel terdengar renyah.
“Haisssh….oke
lah, ada apa? Aku gak bisa lama-lama nih, banyak kerjaan….”
“Ish,
sok sibuk banget…!”
“Beneran,
Mel. Aku lagi sibuk banget, huhu. Aku gak bisa lama-lama nih…”
“Oke-oke….
Mmh, Re, kamu udah dapat proposal belum?” tanya Amel.
“Proposal?
Hahaha, iya ini aku lagi mikirin itu. Gila, banyak banget, aku kerempongan
tahu!” Akhirnya, aku bisa curhat sedikit.
“Waaaah…..!!
Dari siapa aja, Re?”
“Biasa
lah, proposal acara kampus sama acara organisasi. Emangnya kenapa sih?”
“Hadeeeeeeh,
kamu tuh dari dulu emang gak pernah berubah, suka banget ngurusin gituan,
hahaha…” Amel ngakak.
Rea
mendengus. “So, sebenernya kamu mo ngomong apa sih?”
“Eh…itu….”
Amel terdengar gelagapan. “Aku…juga abis nerima proposal…”
“Ha?
Sejak kapan?” seingatku, Amel tidak terlalu suka dengan kegiatan
surat-menyurat. Ikut organisasi saja dia malas. Dia lebih suka berdiam diri di
perpustakaan dan membaca.
“Sejak…..”
Amel menghembuskan nafasnya sejenak. Dia pun mulai bercerita. Dan sepertinya
Rea lupa dengan semua tugasnya yang menumpuk.
_September
2005_
Surat
itu datang menghampirinya. Isinya sangat polos: Aku suka kamu. Rea yang membaca
surat itu tak bisa menahan tawa. Sementara itu, Amel hanya memandanginya dengan
raut muka kesal.
“Hahaha,
cie….dapat surat cinta!” goda Rea.
“Pokoknya,
aku gak suka dia!” Amel mencak-mencak.
“HAHAHAHAHAHAHA!!!”
Rea gulung-gulung, gak kuat nahan tawa. Gimana gak ketawa, dia tahu persis
siapa pengirim surat itu. Dia adalah Ardi, cowok SMA sebelah yang gak lain
adalah sahabat Rea.
“Dieeeemmmm!!”
Amel makin menjadi-jadi.
Dan
sejak saat itu lah, hidupnya memang tak tenang lagi. Ardi, Ardi, dan Ardi.
Cowok itu nyaris seperti teroris yang senantiasa memburunya kemanapun dia
pergi. Hampir setiap hari cowok itu lewat di depan rumahnya, nongkrong di depan
gerbang sekolah saat bel pulang berbunyi, berharap bisa bertemu Amel. Apa yang
dia lakukan? Tentu saja berusaha merebut hatinya. Hahaha, Rea selalu saja
tertawa melihatnya.
_November
2006_
Kali
ini, Amel mengamuk di depan Rea.
“Aku
benci Ardiiiiiii!!” teriaknya.
“Hahahaha,
kasian banget sih kamu!” lagi-lagi Rea ngakak.
“Hidupku
gak tenang, Re….Haaaahhhhh!!”
“Ya
udah, kalo kamu gak suka ya biarin aja, gitu aja kok repot…”
“Tapi
aku kesel tiap hari diteror terus sama dia! Aku gak bebas….”
“Udah
biarin aja. Ntar kalo capek pasti dia bakal diem…” kataku, tapi setengah gak
yakin. Masalahnya, Ardi gak gampang menyerah. Ah, kasihan kau, Rea…
_Januari
2007_
Sesuai
dugaan Rea, Ardi memang gak gampang nyerah. Sudah dua tahun ini dia meneror
Amel dengan rasa tak bersalah. Sebaliknya, Amel merasa sangat tersiksa. Rea
masih ingat dengan satu kejadian yang tak akan pernah dilupakannya.
“JANGAN
GANGGU AKU LAGI…..!!” Amel merobek-robek surat cinta itu tepat di depan muka
Ardi.
Ardi
hanya terdiam mirip patung hidup. Rea ingin tertawa tapi juga kasihan. Jadi,
dia memilih untuk diam saja.
“Pergi!!”
usir Amel.
Ardi
menghembuskan nafas perlahan, lalu pergi dengan tampang mengenaskan.
“Jangan
kasar-kasar gitu lah, Mel. Kasian dia….” Kataku.
“Bodo!!
Aku gak suka dia gangguin aku terus!!”
“Jangan
gitu, nanti kamu bisa-bisa malah suka sama dia, hahahaha….”
“Gak
akan pernah!!”
Ya
sudah lah….
_April
2008_
Rere
dan Amel kini sudah SMA. Ardi memang tak bisa lagi melongok ke gerbang SMP
seperti yang biasa dilakukannya, tapi bukan Ardi namanya kalau tidak ngotot bin
ngeyel. Dia masih rutin lewat di depan rumah Amel, juga mengiriminya surat
cinta.
“Tolongin
aku dong, Re, dia tuh bener-bener ganggu hidup aku!!” keluh Amel seperti
biasanya.
Rea
mendesah pelan. Apa lagi yang harus dilakukannya? Dia sudah memperingatkan Ardi
berulang kali, tapi jawaban Ardi tetap sama.
“Pokoknya
dia, Re. Pokoknya dia….”
“Tapi
dia gak suka sama kamu, Di! Menyerahlah sebelum kamu makin sakit ati…” kata
Rea.
“Apa
aku salah?”
“Kamu
gak salah suka sama dia, hanya caramu mengungkapkan itu yang salah. Lebay tau!”
“Lebay?”
“Iya,
kamu terlalu berlebihan!”
“Hahaha,
tapi aku suka!”
“Ya
sudahlah, terserah kau saja!!” Rea menyerah.
Rea
tahu, Amel memang tak pernah menyimpan perasaan apa-apa terhadap Ardi. Cewek
kutu buku itu lebih mencintai buku daripada berurusan dengan cinta. Baginya,
buku itu lah pacarnya.
“Sampai
kapan aku digangguin terussss?? Sampai mati?? Haaahhhh, aku gak akan sanggup!”
Amel mengeluh lagi.
“Mel,
kenapa sih kamu kok benci banget sama dia? Kasian tahu, tiap hari kamu semprot
kayak gitu…”
“Aduh,
Re, coba deh bayangin kalo kamu jadi aku. Tiap hari disatronin, emangnya kamu
gak kesel? Hidupku gak akan pernah tenang sampe cowok itu bener-bener pergi
dari hidupku!!”
“Jadi,
kamu gak suka sama dia?”
“Nggak!!
Nggak akan pernah!!! Sampe mati pun aku gak bakal mau sama dia!!”
“Hati-hati.
Nanti termakan omongan sendiri…”
“Idih,
apaan sih, Re! Sekali kagak, ya tetep kagak!”
_Desember
2009_
Rea
memandangi sepucuk surat di tangannya, lalu bergantian menatap Ardi yang
tampang gundah.
“Aku
tahu, Re. Aku salah….” Ucapnya.
“Kamu
gak pengen menemui dia untuk yang terakhir kali?” tanya Rea.
Ardi
menggeleng dengan pasrah. “Gak perlu, Re. Nanti dia pasti mencak-mencak lagi…”
“Mmmh…”
“Ini
memang sebuah kesalahan, Re….”
“Ya?”
“Betul
katamu, caraku mengungkapkan memang salah. Amel pasti merasa terbebani selama
ini. Aku menyesal mengganggu hidupnya lima tahun ini…Aku menyesal….” Suara Ardi
bergetar, dan….dia menangis!
“Di….”
Rea bingung. Seumur-umur, dia gak pernah melihat cowok menangis. Apalagi Ardi
si Kepala Batu!
“Tolong
sampaikan maafku padanya ya, Re…”
Rea
mengangguk. “Kapan kamu berangkat?”
“Nanti
malam Pakde akan menjemputku. Aku gak ada pilihan lain, Re….”
Ya,
Rea tahu. Ardi tak bisa kuliah karena keterbatasan ekonomi. Pakdenya yang orang
kaya itu menawarinya untuk kuliah dan bekerja sambilan di Sumatera. Beliau lah
yang akan membiayai keperluan hidupnya.
“Kamu
menetap di sana?” tanya Rea dengan sedih.
“Ya.
Aku harus bekerja keras agar adik-adikku bisa sekolah semua…” katanya tercekat.
“Ganbatte
Kudasai!!” Rea menyemangati.
Ardi
tersenyum. Kali ini, senyum itu tampak menyedihkan…
Kasihan….cinta
yang bertepuk sebelah tangan…hmmm…
####
“Ini,
ada surat dari Ardi….” Rea mengulurkan sebuah surat.
“Mau
apa lagi anak itu? Gak ada capek-capeknya gangguin aku!!” seperti biasa, Amel
ngomel-ngomel. Dia lalu merobek surat itu tanpa membacanya terlebih dahulu. Rea
hanya geleng-geleng kepala.
“Mulai
sekarang, dia gak akan mengganggumu lagi.” Kataku.
“Omong
kosong! Ya, hari ini dia emang gak lewat di depan rumahku. Tapi, lihat saja
besok….”
“Ardi
sudah pergi ke Sumatera. Jadi, dia gak akan gangguin kamu lagi…” potong Rea.
“Apa?”
“Iya,
dia sudah pergi ke Sumatera. Ikut Pakdenya ke sana. Tenang saja, dia bakal
menetap di sana kok, jadi dia gak bakal ganggu kamu. Hhhaaaaahhh, sekarang kamu
pasti merasa bebas!” kata Rea sambil tersenyum riang.
“Ha?
Oh…iya…aku sekarang merasa bebas…” Amel tersenyum. Tapi, entah kenapa, Rea
merasa kalau senyum itu tampak lain…
###
Ada
yang aneh. Dan ini yang membuat Rea curiga. Semenjak Ardi pergi, gadis itu
mendadak pendiam. Bukankah seharusnya dia senang?
“Kamu
kenapa sih?” Rea mulai menangkap ada yang gak beres dengan gelagat Amel.
“Aku
gak papa kok…” Amel mencoba tersenyum. Tapi, mengapa senyum itu seolah-oleh penuh
luka?
“Jangan
bilang kalo kamu kepikiran Ardi!” tebak Rea.
“Ih,
apaan sih!”
“Ya,
habisnya sejak dia pergi, kamu mendadak murung gitu…”
“Enak
aja, ini bukan karena dia!”
Memang,
ada yang lain semenjak Ardi pergi. Tak ada lagi yang selalu merecokinya, lewat
di depan rumahnya, mengiriminya surat atau menantinya di depan gerbang sekolah.
Tak ada lagi yang membuatnya jengkel.
Tak ada lagi yang bisa dimaki-maki sepuas hati. Dia sudah pergi…
“Hahaha,
iya aku tahu. Kamu gak mungkin suka sama Ardi! Hmmm, Ardi…Ardi…gimana ya kabar
dia? Dia gak pernah ngasih kabar sih…”
“Emang
aku pikirin?!” Amel mendadak sewot.
Rea
mengerutkan kening. Dia semakin bingung. Ada apa dengan anak ini?
“Mulai
bulan depan, aku dipondokkan sama Bapak…” katanya kemudian.
“Ha?”
“Iya.
Bapak sama Ibu akan bekerja di Bali. Mbakku sudah menikah semua, jadinya gak
ada yang bisa jagain aku. Aku disuruh mondok sama Bapak…”
Rea
mendadak sesak. Dia akan kehilangan sahabatnya…
“Mondok
di mana?”
“Di
Kota...”
Rea
terdiam. Amel adalah sahabat yang sangat dia sayangi. Sebentar lagi, Amel akan
mondok di Kota, jauh dari desa tempat tinggalnya….
_Mei
2012_
Sekarang,
gadis itu banyak berubah. Dia mulai mengenakan jilbab semenjak kakinya
menginjak pesantren. Sikapnya pun telah banyak berubah. Tidak grasak-grusuk
seperti dulu. Entah kenapa, di mata Rea, gadis itu kini tampak begitu dewasa.
“HAH??!!!
SERIUSSSSSS??!!” teriak Rea kencang. Jantungnya hampir saja copot demi
mendengar kabar yang disampaikan sahabatnya itu.
“Hehehehe,
iya….” Suara Amel tampak riang sekali.
“JADI….?!!”
Rea masih heboh.
“Iya.
Nanti undangannya akan aku kirim ke Jogja…”
Rea
baru sadar. Ternyata, proposal yang Amel maksud bukanlah proposal seperti yang
ada dalam pikirannya, tapi proposal dalam arti lain. Alias, lamaran. Rea
memukul-mukul kepalanya berulang kali. Gak percaya.
“Cepet
banget, Mel….?? Wah, gak nyangka kamu bakal seberani itu!”
“Hehehe.
Aku kan sekarang sudah dewasa….”
“Dewasa
apanya, umur aja baru 19 tahun!”
“Kedewasaan
gak diukur dari segi umur saja, Re..”
“Widih,
kata-katamu gaya bener, hahahaha. Hhhhaaaahhhh, aku bener-bener gak nyangka!!
Seriusssssss!!”
“Ah,
kamu bisa aja. Kamu gak nyusul?”
“Kagak,
ah. Ntar aja kalo udah lulus S2!”
“Keburu
tua lo!”
“Hehehe….”
Tiba-tiba
saja, Rea tergelitik untuk menanyakan sesuatu.
“Ngomong-ngomong,
siapakah laki-laki tak beruntung yang memilih kamu?”
“Huuussssh,
enak aja ngatain laki-laki tak beruntung! Dia…itu….ngggg….”
“Ish,
siapa sih? Santri pondokmu?”
“Dia….Ardi…”
“Ardi?”
Rea mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. Lima detik kemudian, suaranya
kembali memecah kamar. “ARDI YANG WAKTU ITU……???!!!!”
“Mmmm…begitulah…”
“HAAAAH?!!”
Rea melongo. Bagaimana mungkin?
“Dia
yang menemui Bapak, Re…”
“Masalahnya,
KOK BISA SIH?!! Bukannya dia ngilang di Sumatera??” Rea masih gak percaya.
“Kalau
sudah jodoh, ya mau gimana lagi….”
Rea
melotot. Matanya nyaris copot!
“Tunggu…tunggu….”
Rea tiba-tiba curiga. “Jangan-jangan, dulu kamu juga suka sama dia?”
“Ha?”
“Ahahahaha,
kena juga kau! Kemakan omongan sendiri, hahahaha…” Rea ngikik. Benar-benar tak
dapat dipercaya!
“Huuusssst….sudah-sudah….jangan
diungkit-ungkit lagi!”
“Hahahahaha….!!”
“REA……..!!!”
“Hahahahah…..!!”
“REA!! AKU TUTUP NIH!!”
“REA!! AKU TUTUP NIH!!”
“Eh…iya,
iya…maap. Hehehe, abis aku gak percaya sih. Tapi, Mel….”
“Ya?”
“Barakallah
ya….”
Mendadak
hening.
“Terima
kasih ya, Rea…”
“Hiks…..”
Rea terisak. “Aku gak nyangka bakal secepat ini….”
“Rea…”
“Rasanya
baru kemarin aku main-main sama kamu, eh sekarang tahu-tahu kamu mau menikah….”
“Hmmmm….”
“Selamat
ya, Mel… Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah….”
Lima
menit kemudian, sambungan terputus. Rea terpekur seorang diri. Amel adalah
sahabatnya sejak kecil. Dan…sebentar lagi akan menikah? Sungguh tak dapat
dipercaya. Parahnya lagi, dia akan menikah dengan Ardi, laki-laki yang dulu
amat dibencinya. Mengingat semua kejadian dulu, hahaha jadi pingin ngakak.
Memang benar, ada kalanya sesuatu yang amat kita benci akan berubah menjadi
kita cintai. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang amat kita cintai bisa saja
berubah menjadi kita benci. Yah, intinya jangan membenci atau mencintai sesuatu
secara berlebihan.
Drrrrt….Drrrrt…Drrrrt…
Hape
Rea bergetar lagi. Ada yang menelepon.
“Rea,
proposalnya udah kelar?”
“Ha?
Oh…eh…iya, akan segera saya selesaikan!”
Rea
gelagapan. Dia segera menghadap laptop, kembali berkutat dengan
tugas-tugasnya….
Jogja, Kamis 17 Mei 2012
Pukul 20.15 WIB