Pagi
itu, 4 November 2015, kereta Sri Tanjung membawaku menuju kampung halaman:
Jember, Jawa Timur. Sepanjang perjalanan melintasi kota demi kota, hatiku
berkecamuk tak keruan. Kepulanganku kali ini bukan saja dalam rangka melepas
rindu pada keluarga, tapi juga menyampaikan dua kabar penting. Pertama, aku
telah mendapatkan pekerjaan (dan ingin melepaskannya). Kedua, aku memohon izin
untuk mengikuti seleksi Ekspedisi NKRI 2016 koridor Papua Barat. Sungguh,
menyampaikan dua kabar itu bukanlah hal yang mudah. Sebagai seorang sarjana merangkap
pengangguran intelektual, bukankah hal yang lazim dilakukan adalah mencari
pekerjaan agar dapat hidup dengan layak? Tapi yang kulakukan malah sebaliknya.
Selepas wisuda, satu per satu temanku meninggalkan Jogja dan menjadi manusia
yang bekerja. Surat lamaran demi surat lamaran dilayangkan ke segala instansi.
Acara career day pun tak luput dari
agenda, tapi entah kenapa tak sekali pun aku berminat ke sana. Semua
berlomba-lomba mencari pekerjaan yang layak, sementara aku masih luntang-lantung ra cetho di tanah
rantau.
Sejak
dulu, ada hal yang sangat mengusik pikiranku. Ini mengenai pertanggung
jawabanku sebagai mantan mahasiswa penerima beasiswa yang sumbernya dari
rakyat. Sungguh, berkesempatan mengenyam bangku kuliah adalah berkah yang tak
ternilai harganya. Bayangkan, jika tak ada beasiswa itu, mungkin aku masih keleleran tak jelas. Dan aku makin
terusik ketika bertemu dengan orang tua asuhku setahun lalu. Ya, selain
menerima beasiswa dari pemerintah, aku juga menerima bantuan dari seorang
dermawan. Semua itu tak lepas dari kobaran semangat yang ditularkan Mas Imam
Santoso—seorang kakak kelas yang begitu semangat memotivasi adik-adik kelasnya
untuk kuliah—dan kedua orang tuaku.
Masih
kusimpan baik-baik memori itu. Empat tahun lalu, aku berusaha keras meyakinkan
kedua orang tuaku bahwa aku ingin melanjutkan sekolah. Tentu saja hal utama
yang menjadi beban pikiran mereka adalah biaya. Bapak adalah seorang guru
swasta yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mengajar, sementara ibu adalah
seseorang yang menghabiskan seluruh waktunya di rumah. Melihat kenyataan itu,
persidangan keluarga besar pun tak terelakkan. Intinya, aku adalah seorang perempuan dan tidak perlu kuliah jauh-jauh.
Tentu saja aku tak bisa menerima alasan itu. Apa yang salah dengan jenis
kelamin perempuan? Maka dengan segala cara, aku kembali meyakinkan mereka.
Setelah lulus SMA, tak ada hal lain yang kulakukan selain belajar untuk
persiapan SNMPTN. Melihatku belajar seperti orang kesetanan, pada akhirnya
orang tuaku mengirimku ke kota untuk belajar di bimbel Technos. Sebulan
kemudian, aku mengikuti SNMPTN. Menunggu pengumuman SNMPTN selalu membuat
jantungku berdebar-debar. Ketika hari H, Bapak mengantarku ke warnet kecamatan
dan ikutan berdebar menanti hasil. Sesampainya di rumah, aku segera memeluk
ibu. Ya, aku diterima sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Restu keluarga
besar telah kudapatkan. Aku pun meninggalkan kota kecilku menuju Yogyakarta,
kota yang membuatku jatuh cinta sejak menjejakkan kaki di sana.
Hidup
di kota besar membuatku harus sering memutar otak demi bertahan hidup. Sembari
menanti beasiswa yang turun 6 bulan sekali itu, aku melakoni pekerjaan paruh
waktu sebagai guru privat. Tahun 2014, aku berkesempatan berkunjung ke Jakarta,
menemui orang tua asuhku. Di sana, kami membincang banyak hal. Aku benar-benar tak
dapat berkata-kata ketika beliau menceritakan pengalaman hidupnya sembari
menitikkan air mata. Masa kecilnya penuh dengan kesusahan. Beliau harus
menempuh sekolah berkilo-kilo dengan berjalan kaki. Singkat cerita, beliau
berjanji pada dirinya sendiri untuk membantu siapa pun dalam bidang pendidikan,
salah satunya adalah dengan menjadi orang tua asuhku. Apalah artinya hidup jika
tak bermanfaat untuk orang lain, begitu katanya.
Tahun
2015, aku mengikuti acara Kampus Fiksi yang diselenggarakan oleh penerbit Diva
Press. Menghabiskan waktu dua hari tiga malam di sana, tak terhitung berapa
banyak ilmu yang kudapatkan. Ketika penutupan acara Kampus Fiksi, aku tercenung
mendengar penuturan Pak Edi—CEO Diva Press sekaligus Rektor Kampus
Fiksi—mengenai pengalaman hidupnya sebelum dan sesudah mendirikan penerbit Diva
Press. Apa yang beliau katakan sama persis dengan orang tua asuhku, “Jadilah
pribadi yang bermanfaat untuk orang lain”. Aku bahkan merekam kata-katanya
dalam kameraku.
Sungguh,
mereka berdua sukses membuatku galau. Dan kegalauan itu makin menjadi-jadi
ketika aku resmi menyandang gelar Sarjana. Ketika semua temanku berlomba-lomba
mencari pekerjaan di instansi bonafit, aku masih saja bertengkar dengan hatiku.
Dan itu membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak.
Wahai penerima beasiswa yang
berasal dari uang rakyat, apa yang sudah kauberikan untuk negeri ini? Sudahkah
kau menebarkan manfaat untuk orang lain?
Gila.
Pikiran-pikiran itu kian menghantuiku. Aku pernah dua kali mengirimkan aplikasi
lamaran pekerjaan, tetapi sesungguhnya hal itu kulakukan dengan setengah hati. Bagiku,
bekerja adalah perihal memenuhi kebutuhan pribadi, dan aku belum ingin terjebak
di dalamnya. Aku ingin melakukan sesuatu dengan sukarela tanpa embel-embel gaji
di akhir. Dan hatiku pun jatuh pada Ekspedisi NKRI. Sudah sejak lama aku
mendengar program itu, tapi aku tak bisa mendaftar karena statusku adalah
penerima beasiswa yang tak boleh cuti. Tahun 2016, Ekspedisi NKRI akan
dilaksanakan di Papua Barat. Bayangan mengabdi di luar pulau langsung terlintas
di kepalaku. Apalagi setelah aku membaca pengalaman seorang senior di sebuah
blog, keinginanku semakin memuncak. Aku ingin mengikuti jejak orang tua asuhku
dan Pak Edi: menebarkan manfaat untuk sesama, sekecil apa pun itu. Setidaknya,
sebelum aku benar-benar bekerja, aku ingin melakukan sesuatu sebagai bentuk
pertanggung jawabanku.
Dan
semua itu kuawali dari sini. Di sebuah ruang keluarga, berhadapan dengan Bapak
dan Ibu yang terbelalak mendengar penuturanku. Bagaimana tidak? Anaknya baru
saja mendapat pekerjaan, tapi akan dilepaskan begitu saja demi Ekspedisi NKRI. Ibu
berkali-kali menanyakan keseriusanku. Bukankah bekerja sama halnya dengan
mengabdi? Begitu tanya beliau. Ya, memang. Semua pekerjaan bisa saja disebut
sebagai pengabdian. Namun, aku ingin mendapatkan hal yang belum tentu orang
lain mendapatkannya: pengalaman mengabdi di tempat yang jauh dan bersinggungan
dengan masyarakat yang budayanya amat berbeda denganku. Aku terlahir sebagai
orang Jawa, namun belum pernah sekali pun keluar pulau dalam jangka waktu lama.
Aku menginginkan pengalaman-pengalaman itu, harta yang tak akan pernah bisa
dibeli dengan apa pun. Apa salahnya memanfaatkan masa muda selagi fisikku masih
kuat? Jika tua nanti, belum tentu aku mampu mendaki gunung seperti saat ini,
atau jalan kaki di pedalaman berhari-hari.
Setelah
melewati tiga hari yang mendebarkan, aku pun mendapat restu dari mereka. Tak
hanya restu, mereka mendukungku sepenuh hati setelah aku menceritakan
seluk-beluk Ekspedisi NKRI. Keesokan harinya, Bapak mengantarku ke kota untuk
membuat surat keterangan sehat dan surat keterangan bebas narkoba. Setelah
semua urusan di kampung halaman selesai, aku pun kembali ke Jogja dan
mengirimkan persyaratan ekspedisi via email.
Sembari
menunggu pengumuman, aku menghabiskan waktu sebulan di Hartono Mall sebagai
penjaga pameran mebel. Bekerja tanpa
libur sama sekali, mulai pukul 9 pagi hingga pukul 10 malam. Seorang teman
pernah bertanya padaku, masa iya seorang sarjana kerja di mall jaga pameran?
Hahaha, aku tertawa mendengarnya. Kukatakan padanya, tak masalah, toh apa yang
kulakukan tidak merugikan orang lain. Aku tidak mencuri, jadi mengapa harus
malu? Anggap saja ini sebagai pengalaman. Kelak, ketika aku mendapatkan
pekerjaan yang jauh lebih layak, aku bisa sering-sering bersyukur ketimbang
mengeluh. Ah, ya, pemilik usaha mebel ini baik sekali. Kami sering bertukar
cerita saat stand pameran tak terlalu ramai. Aku masih ingat benar wejangan Pak
Lukman ketika mendengar rencanaku untuk ikut seleksi Ekspedisi NKRI. Beliau
berkata, “Tidak banyak orang yang berani melepaskan pekerjaan demi jadi
relawan, lalu pulang dengan status pengangguran. Kamu masih muda dan enerjik,
manfaatkan saja buat cari pengalaman hidup. Percaya sama saya, kelak kalau kamu
sudah berada di lingkungan kerja, pengalaman-pengalamanmu itulah yang akan
mendewasakanmu.”
Tepat
sebulan bekerja di Hartono Mall, pengumuman itu datang. Kubuka website Ekspedisi NKRI dengan hati
berdebar. Semalaman aku tak bisa tidur. Ku-scroll layar ponselku dengan
hati-hati, dan terpampanglah namaku di sana. Jangan tanya betapa bahagianya aku
saat itu. Bayangan Papua Barat sudah melambai-lambai di depan mata. Segera
kutelepon orang tuaku untuk mengabarkan pengumuman ini, juga kepada Pak Lukman
yang memberiku wejangan dua minggu lalu. Mereka mengucapkan selamat dan
berpesan agar diriku selalu menjaga kesehatan.
Berbekal
gaji jaga pameran selama sebulan, aku bergegas membeli beberapa perlengkapan
ekspedisi yang belum kumiliki. Saat itu malam tahun baru. Aku dan teman baruku
sesama peserta ekspedisi, Widya, keleleran
seharian mencari perlengkapan ekspedisi. Tak akan kulupakan hari itu, hari di
mana aku dan Widya cekakakan di
sepanjang Jalan Kaliurang dengan barang bawaan segambreng. Kami ngakak macam
dua orang yang sudah kenal bertahun-tahun, padahal baru dua hari kenal. Hahaha.
Dan
perjalanan panjang itu pun dimulai…