Stasiun Jember tampak lengang. Kuseret langkahku setengah meragu ke bagian cetak tiket. Di belakangku, tampak bapak tengah menungguku masuk ke peron. Tadi aku sudah berpamitan. Ia baru bisa tenang kalau kereta yang kutumpangi sudah melaju.
Kuangsurkan selembar tiket dan KTP kepada petugas. Setelah diperiksa, ia mempersilakanku masuk. Aku membalikkan badan. Bapak melambaikan tangan, tampak cahaya harapan terpancar di kedua bola matanya. Harapan yang membuat pundakku terasa semakin berat saja. Diam-diam aku merasa takut. Takut mengecewakan, tepatnya. Ayolah, sulung! Kau tak selemah itu! Aku berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk dari kepalaku.
Pukul 05.00 WIB. Kereta Sritanjung melaju pelan menembus kabut pagi. AC kereta membuat pagiku kian dingin. Kurapatkan jaketku dengan sedikit menggigil. Perlahan-lahan, mataku terkatup rapat, ditemani soundtrack drama Descendants of the Sun yang mendayu-dayu penuh rindu. Pikiranku masih saja berlompatan ke sana ke mari. Sungguh, saat itu tubuhku terasa amat remuk. Sebulan ini aku menghabiskan hidupku di jalanan, berpindah-pindah dari stasiun satu ke stasiun lain. Bahkan aku mulai mengakrabi ibukota dengan segala kemacetannya. Bekasi, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta. Keempat kota itu menjadi tempatku bertarung melawan kejamnya dunia kerja. Setelah mendedikasikan diri sebagai relawan di Papua Barat selama 4 bulan, praktis aku kembali ke kampung halaman dengan status pengangguran. Ini adalah risiko yang mau tak mau harus kutelan setelah menampik sebuah pekerjaan lumayan menjanjikan setengah tahun lalu, demi menuntaskan panggilan hati di Ekspedisi NKRI. Panggilan hati yang bagi sebagian orang terdengar begitu muluk, tapi tak kusesali sama sekali.
Pukul 12 siang, aku tergelagap bangun. Harusnya aku tak boleh tidur. Harusnya aku belajar sungguh-sungguh. Kuambil buku psikotes yang baru kubeli seminggu lalu, kemudian aku larut dalam barisan angka. Aku berusaha mengakrabkan diri dengan Pauli, Kraepelin, Aljabar, Geometri, dan kawan-kawannya. Otakku memang agak susah mencerna angka, kecuali angka uang.
Kegagalan-kegagalan kemarin sungguh menohok hati. Kenyataan bahwa aku sudah menyandang gelar sarjana sejak setahun lalu diam-diam menjadi beban tersendiri buatku. Lebih tepatnya, aku jengah mendengar omongan orang-orang di kampungku. Kekepoannya amat menjengkelkan. Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu dengan segala usaha kerasku 'menjual diri' ke mana-mana. Ada kalanya semangat itu turun dan biasanya aku akan menggalau ke beberapa kawan. Dan aku selalu bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang selalu mendukungku.
Pukul 4 sore, Nanda menjemputku di Stasiun Lempuyangan. Suasana Yogyakarta selalu membuatku menostalgiakan segalanya. Tiap sudutnya menyimpan kepingan-kepingan kenangan. Angkringan, musisi jalanan, Taman Budaya Yogyakarta, Togamas, Gramedia, Perpustakaan Kota, Jalan Kaliurang, kampus, dan segala hal yang kuakrabi hampir 5 tahun ini.
Sesampainya di kos Nanda malam harinya (sebelumnya kami kumpul-kumpul dulu sama beberapa kawan), aku langsung tepar sampai pagi. Benar-benar lelah. Pagi harinya, sekitar pukul setengah 9, Nanda mengantarku ke Stasiun Lempuyangan.
"Semangat, ya!" ujar Nanda sembari menerima helm dariku.
Aku mengangguk, lantas berlari-lari kecil menuju pintu masuk. Kereta Bogowonto siap mengantarku ke Jakarta (lagi). Percayalah, duduk berjam-jam dengan kondisi tegak akan membuat punggungmu keras seperti papan. Dan aku melakukannya hampir tiap minggu.
Sembari mendengar lagu, tanganku kembali mengotak-atik buku psikotes. Tapi kali ini konsentrasiku buyar. Beberapa waktu lalu aku juga melakukan perjalanan ke Jakarta, tetapi dengan suasana yang berbeda. Saat itu kau menemaniku melewati perjalanan-perjalananku, dan sekarang aku berjalan sendirian. Ah, betapa kenangan terkadang suka mengganggu pikiran! Kututup bukuku karena tak bisa berpikir jernih. Aku memilih tidur untuk beberapa jam ke depan.
Sesampainya di Stasiun Jatinegara, aku turun dan melanjutkan perjalananku dengan KRL. Sore itu, hujan turun deras sekali. Di pintu keluar, seorang bocah kecil menawarkan ojek payung kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk.
"Ke loket sana, ya, Dik!"
Tanah becek menyambut langkah kakiku. Sepatu dan kaus kaki basah seketika. Setelah membeli tiket jurusan Palmerah, aku duduk di kursi panjang, menikmati hujan sembari menunggu kereta datang. Setengah jam kemudian, KRL yang kunanti pun tiba. Aku amat bersyukur karena banyak kursi kosong. Turun di Stasiun Tanah Abang, aku kembali naik KRL yang berakhir di Palmerah. Kali ini aku harus berdiri berdesak-desakan. Tenang saja, aku sudah mulai terbiasa menghadapi luapan manusia seperti ini. Sejujurnya, tak sekalipun aku bermimpi akan mencari hidup di kota ini. Macet, banjir, polusi, adalah hal-hal menjengkelkan yang tak ingin kutemui. Tapi takdir kembali membawaku ke sini. Kota yang dulu amat kubenci dan sering kusumpahi, dan sekarang harus mulai kucintai.
Kira-kira pukul 8 malam, aku tiba di Stasiun Palmerah dan disambut oleh Ucil, kawan sejurusan merangkap kawan menggalau perkara gawean. Malam itu ia mengajariku naik angkot. Biar nggak tuman pakai ojek, katanya. Sekalian pengiritan. Angkot nomor 09 membawa kami ke daerah Kebayoran Lama. Kami turun di depan kantor Jawa Pos untuk menjemput Vika, tapi ternyata pekerjaannya belum kelar. Kami lantas menunggunya di warung tak jauh dari situ. Aku tak bisa menahan laparku lebih lama lagi. Aku takut meninggal kalau harus menunggu Vika dulu.
"Sudah siap untuk tes besok?" tanya Ucil.
"Siap nggak siap, Cil. Baru 4 hari lalu aku di Surabaya, dan sekarang aku sudah di sini lagi. Capek, tapi aku kudu setrong! Hahaha!" jawabku.
"Yo, kowe kudu semangat. Pekerjaanmu ini berat, tapi cocok untuk orang yang baru saja kandas sepertimu. Kamu jadi nggak punya waktu buat mikirin hal-hal yang nggak penting, hahaha!"
"Sialan. Tapi benar juga."
Kami ngakak bareng. Sungguh indah menertawakan kesedihan masing-masing. Selesai makan, kami berjalan kaki menuju kos Vika. Vika tampak amat lelah. Kantung matanya kian menggantung saja. Ia menemani kami hanya sejam, lalu kembali ke kantor untuk rapat sampai jam satu dini hari.
"Jadi wartawan itu capek, Ndi. Penuh tekanan. Serius!" kata Vika.
"Aku harus capek, Vik. Serius!"
"Ya, itu pilihanmu sih. Semoga tes besok lancar, ya!"
"Aamiin."
Setelah Vika pergi, aku membuka-buka koran yang dibawa Ucil. Ucil sendiri sudah bobok manis setengah jam lalu. Benar, ini adalah pilihanku. Jika aku sudah menentukan pilihan, maka yang selanjutnya kulakukan adalah memperjuangkan pilihan itu, bagaimana pun caranya. Tepat pukul 12 malam, aku menyusul Ucil tidur.
Pagi harinya, aku bersiap-siap. Vika masih goler-goler di kasur ketika aku berpamitan kepadanya. Ia menyemangatiku dengan mata setengah tertutup. Kususuri gang kecil dengan hati campur aduk, lalu berbelok ke arah gedung Jawa Pos. Di sana, aku berdiri menunggu kedatangan ojek online yang kupesan beberapa menit lalu. Kuperhatikan lalu lalang kendaraan di depanku. Macet. Ruwet. Jakarta, oh, Jakarta.
"Mbak Indiana, ya?" sapa seorang mas-mas berjaket hijau khas ojek online.
Aku mengangguk. Ojek pesananku sudah sampai. "Ke Jalan Teuku Cik Di Tiro, ya, Mas?"
"Siap, Neng!"
Sesuai dugaan, pagi itu kami disambut macet di sana-sini. Itulah mengapa aku berangkat 1,5 jam sebelumnya. Biar nggak telat. Setelah diiringi drama kesasar, tibalah kami di daerah Menteng. Aku segera masuk ke gedung tempatku tes bersama seorang seniorku di kampus. Mbak Habsari namanya. Satu per satu peserta datang dan kami saling berkenalan. Nyaliku agak menciut ketika melihat beberapa dari mereka adalah jebolan TV ternama, atau lulusan jurusan Jurnalistik. Tapi, ya sudahlah, lihat saja nanti.
Pukul 11 siang, kami digiring ke sebuah ruangan untuk menjalani tes tulis. Meskipun suasananya amat santai, tetap saja aku gugup. Kujawab soal-soal seputaran dunia jurnalistik semampu yang kubisa. Ada dua soal yang bikin aku kelimpungan, yaitu soal menerjemahkan berita bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Saat itulah aku mengutuk diriku sendiri yang kurang bersungguh-sungguh belajar bahasa Inggris. Dulu sempet jago pas ikut les di Pare, sekarang balik bego lagi karena jarang diasah -_-
Selesai tes, aku dan Mbak Habsari kabur ke warung depan kantor sambil ngroweng perkara soal-soal tes yang di luar prediksi kami. Ya, anggap saja kami sedang dilatih. Kalau sudah resmi bekerja nanti, akan lebih banyak lagi hal-hal tidak terduga yang kami temui.
Pukul setengah 2 siang, sesi interview dimulai setelah sebelumnya ada presentasi mengenai profil perusahaan. Interview dibagi menjadi beberapa kloter. Aku kebagian kloter kedua bersama dua orang temanku, Mery dan Adit. Kami diwawancara oleh 3 orang redaktur yang ketiga-tiganya kocak. Suasana amat santai, dan aku langsung jatuh cinta pada media ini. Kupikir akan sangat menyenangkan bekerja dengan orang-orang segila mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentu saja berkaitan dengan CV yang kami tulis. Adit menceritakan pengalaman kerjanya sebagai fotografer, profesi yang menurun dari ayahnya. Mery menceritakan pengalaman magang di sebuah stasiun TV ternama. Aku?
"Setelah lulus, saya lebih banyak keluyurannya sih, Pak. Terakhir saya ngebolang di Papua Barat selama 4 bulan. Juni kemarin baliknya," ujarku.
"Ngapain tuh di Papua? Lihat orang pakai koteka?"
Semua tertawa.
"Hehe, jadi relawan, Pak. Asisten Peneliti bidang Sosial dan Budaya gitu lah. Kerjaannya main ke distrik-distrik terpencil buat cari data bla... bla..."
Ya, hanya Ekspedisi NKRI lah senjataku saat itu, sebuah pengalaman yang agak nyambung dikit lah sama bidang pekerjaan yang kulamar. Setelah tanya-tanya tentang pengalaman, kami lebih banyak ngobrol ngalor-ngidul.
"Dit, kamu punya pacar?" tanya Cak Sol bercanda setengah serius.
Adit si fotografer menggeleng. "Baru aja putus, Pak."
Semua tertawa. Aku hanya tersenyum kecut. Sabar, yah, Dit. Jodoh mah nggak ke mana, tapi kalo lu nggak ke mana-mana ya nggak ketemu juga.
"Kenapa putus?"
"Ya gitu deh, Pak, dia bla ... bla... bla ..." si Adit curcol. Buset.
"Kalau Indi, punya pacar nggak?"
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Putus juga kau?"
Aku pura-pura budek.
"Kalau Mery?"
"Nggak punya, Pak."
"Waaaah, jomblo semua berarti ini, ya! Nggak papa, nanti kalian cari sesama wartawan saja, kan asyik. Di sini banyak tuh yang cinta lokasi. Tapi kalau sampai menikah ya risikonya harus keluar salah satu," ujar mas-mas gendut yang aku lupa siapa namanya.
Kami tertawa mendengarnya. Setelah haha-hihi beberapa menit, kami dipersilakan keluar. Aku merebahkan diriku di mushola sembari nunggu Mbak Habsari kelar wawancara. Pikiranku kembali melayang. Menjadi seorang wartawan adalah impianku semasa sekolah. Dulu aku begitu aktif di ekskul Jurnalistik sampai-sampai ingin kuliah di jurusan serupa. Begitu diterima sebagai mahasiswa Sastra Indonesia UGM, impian itu lambat laun pudar seiring dengan banyaknya pilihan. Sempat tergabung dalam pers mahasiswa tingkat fakultas, tapi tak bertahan lama. Aku larut dalam aktivitas menulis fiksi , organisasi jurusan, dan selebihnya nggembel ke sana kemari. Menginjak tahun akhir kuliah, kerjaanku dolan melulu. Begitu lulus dan wisuda, aku mencelat ke Papua Barat. Ya, begitulah pilihan hidupku saat itu.
Dan kini, aku diajak reunian dengan impian di masa lalu. Menjadi seorang wartawan yang hidupnya keleleran di jalanan. Seru-seru mengasyikkan. Penuh tantangan dan perjuangan, macam orang pedekatean.
Setelah menjalani tes dan interview di hari itu, aku kembali ke Yogyakarta untuk menunggu pengumuman. Aku sudah berjanji tidak akan pulang ke rumah andaikata aku tidak lolos. Malu sudah mengecewakan orang tua dan menghabiskan banyak harta. Lebih baik aku serabutan dulu di sini sampai menemukan pekerjaan yang layak. H+1 Idul Adha, pengumuman itu datang dan aku tidak lolos. Saat itu aku langsung down. Oh, Tuhan, kuatkan aku. Dengan hati tak keruan aku mengirimkan sebuah sms ke nomor bapak.
Bapak, aku nggak lolos. Maaf sudah mengecewakan dan menghabiskan banyak uang.
Kemudian aku menangis di pojok kamar kos sampai tertidur. Begitu bangun, kudapati mataku bengkak tapi perasaanku sudah agak lebih baik. Karena tak ingin edan sendirian, aku menyambangi kos Mbak Habsari buat sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Oya, dia lolos. Keesokan harinya, ia terbang ke Jakarta untuk teken kontrak, sementara aku sibuk apply lamaran lagi. Kemudian kabar itu datang di siang bolong.
Ndi, kamu lolos tahu! Emang kamu nggak dapat sms?
Kubaca pesan Line dari Mery setengah tidak percaya. Kucek kembali ponselku yang rada soak ini. Tidak ada sms masuk. Aku lantas menelepon ke kantor untuk memastikan. Oh, ternyata ada trouble. Entah gimana ceritanya sms dari kantor tidak masuk ke ponselku. Alhamdulillah, mereka mau maklum sehingga aku tidak perlu nyap-nyapan ke Jakarta saat itu juga. Setelah mendapat kepastian, aku lantas menelepon bapak dan menyampaikan kabar itu. Akhir bulan ini aku harus kembali ke Jakarta dan mengikuti pelatihan sebelum siap tempur. Rasanya ngeri-ngeri sedap.
Pada akhirnya, inilah pilihan yang harus kujalani. Seperti halnya memilih pasangan, aku harus bertanggung jawab dan memperjuangkan pilihanku apa pun yang terjadi. Diam-diam aku harus berterima kasih pada Ekspedisi NKRI, senjata ampuhku dalam interview kemarin. Ah, bukankah setiap pilihan akan melahirkan segala kemungkinan? Mungkin jika dulu aku lebih memilih pekerjaan ketimbang jadi relawan ekspedisi, aku tidak akan bertemu orang-orang hebat dan pengalaman hidup yang tak bisa dibeli dengan apa pun. Dan tentu saja, aku tak akan jadi wartawan, impian masa sekolah yang sebentar lagi akan terealisasi.
Yogyakarta, 17 September 2016.